TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana menggunakan e-Rekap atau rekapitulasi digital dalam pilkada 2020. Meski begitu, sejumlah politikus memberi sejumlah catatan.
Anggota Fraksi PDIP Arif Wibowo mengatakan partainya setuju penggunaan e-rekap hanya sebagai alat bantu dari rekapitulasi manual.
Baca juga:
Arif mengatakan dalam Undang-Undang Kepala Daerah sudah mengatur metode rekapitulasi secara berjenjang dari TPS hingga KPU daerah. "Rekap tetap manual karena perintah Undang-undang," katanya seperti dikutip dari Koran Tempo hari ini, Selasa 28 Juli 2020.
Ia menambahkan penggunaan e-Rekap dapat mengurangi kecurangan dalam pelaksanaan pilkada. Selain itu, penggunaan teknologi dapat berfungsi sebagai alat kontrol dan pembanding terhadap data rekapitulasi suara manual. Arif meminta KPU menguji kredibilitas e-Rekap di depan para ahli teknologi informasi dan pemilihan umum.
Yaqut Cholil Qoumas Politikus PKB meminta KPU memastikan e-Rekap telah aman dari peretasan. Ia mengakui keberadaan perangkat ini bisa memperpendek rantai penghitungan suara. "Selain itu, meminimalisi pertemuan orang dan akan lebih efisien dalam penggunaan anggaran," kata dia.
KPU berencana menggunakan teknologi e-Rekap di dalam Pilkada 2020. Meski penggunaan teknologi ini nasibnya masih terkatung-katung lantaran anggaran KPU yang dipotong akibat pandemi Covid-19. Padahal, KPU sudah merencanakan sejak awal penggunaan teknologi ini di Pilkada serentak 2020. E-Rekap ini diharapkan menjadi solusi untuk pemilu 2024 yang mulai diterapkan bertahap sejak 2020.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan pihaknya mendukung pemberlakuan rekap elektronik. Ia beralasan dalam kajian yang dilakukan pihaknya, salah satu pelanggaran yang banyak terjadi adalah saat proses rekapitulasi. Selain karena waktu rekap yang lama lantaran berjenjang, kecurangan terjadi juga karena keterlibatan terlalu banyak pihak pada proses rekapitulasi secara manual.
Namun, Titi mengingatkan jika tidak dipersiapkan dengan baik tentu pelaksanaannya bisa menimbulkan ketidakpercayaan atau penolakan dari publik. Misalnya, kata Titi, seperti kontroversi teknologi Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) yang dilakukan KPU pada Pemilu 2019 lalu.
Tulisan lengkapnya baca Koran Tempo