TEMPO.CO, Jakarta - Aksi Keadilan Indonesia (AKSI), lembaga bantuan hukum yang fokus pada pengguna narkotika, menganggap alasan Direktorat Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri menolak legalisasi ganja sangat tidak masuk akal dan mengada-ada.
Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal Krisno Siregar menyebut jika salah satu alasan menolak ganja untuk medis karena jenis ganja yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di negara lain.
"Tidak jelas riset atau penelitian mana yang dirujuk oleh pemerintah dalam hal ini untuk menunjukkan kandungan ganja yang ada di Indonesia," ujar Koordinator Advokasi dan Kampanye AKSI, Yohan Misero, melalui keterangan tertulis pada Sabtu, 27 Juni 2020.
Menurut Yohan, seharusnya pemerintah melibatkan masyarakat sipil dalam penelitian. Namun, jika pemerintah melihat hasil penelitian dari luar negeri, hendaknya mempertimbangkan sejumlah penelitian lain yang menunjukkan manfaat ganja untuk medis.
Lebih lanjut, Yohan menjelaskan, kandungan THC yang tinggi tidak serta merta menunjukkan bahwa ganja tidak bernilai medis. Ia mencontohkan Dronabinol, sebuah merk dagang dari THC yang spesifik.
Ia menuturkan Dronabinol berguna menambah nafsu makan, antiemetik, dan mengurangi sleep apnea (gangguan bernafas saat tidur). "Dronabinol disetujui oleh FDA (BPOM Amerika) untuk orang dengan HIV/AIDS yang kesulitan makan serta untuk mengurangi mual dan muntah terkait kemoterapi," ucap dia.
Yohan mengatakan, status ganja yang legal justru memberi kesempatan bagi negara untuk meregulasi standar yang dibutuhkan. Ia melihat, legalitas ganja sangat dibutuhkan agar pusat penelitan maupun perusahaan farmasi yang ada di Indonesia dapat melakukan rekayasa ataupun penyesuaian lain yang diperlukan untuk memenuhi standar ganja yang dapat dimanfaatkan secara medis.