5. Partai-partai Berebut Kursi Ketua MPR
Setelah pemilihan legislatif 2019, partai-partai yang lolos ke parlemen mulai berebut kursi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Partai-partai yang mengincar kursi ketua MPR adalah Partai Golkar, Partai Gerindra, dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Golkar merasa kadernya berhak menempati kursi ketua MPR karena menjadi pemenang kedua dari segi perolehan kursi DPR. PKB menyorongkan ketua umumnya, Muhaimin Iskandar yang sudah menempati posisi wakil ketua MPR periode 2014-2019. Adapun Gerindra merasa pantas menempati jabatan itu demi kepentingan rekonsiliasi pascapilpres 2019.
Lobi-lobi seputar kursi pimpinan MPR ini disusul dengan revisi Undang-undang MD3. Jumlah pimpinan MPR pun bertambah dari lima menjadi sepuluh orang demi mengakomodasi sembilan partai yang ada di Senayan, plus satu orang pimpinan perwakilan DPD.
Belakangan, pertarungan merebut kursi ketua menguat di antara Golkar dan Gerindra. Golkar mengajukan mantan Ketua DPR Bambang Soesatyo, sedangkan Gerindra mencalonkan Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani. Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto mengendur setelah berkomunikasi dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
6. Gagasan Amandemen UUD 1945 Mencuat
Gagasan amandemen Undang-undang Dasar 1945 mencuat menjelang berakhirnya masa kerja DPR periode 2014-2019. Awalnya, ide yang muncul adalah menghadirkan kembali garis-garis besar haluan negara (GBHN) seperti era sebelum reformasi.
Keinginan adanya haluan negara ini muncul dari PDIP. Dalam persamuhan dengan pimpinan MPR di rumahnya, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat pada 10 Oktober lalu, Megawati mengemukakan kegelisahannya soal kesinambungan pembangunan oleh pemerintah pusat dan daerah.
"Saya menangkap kegelisahan beliau. 'Kenapa ya, setiap pergantian presiden, gubernur, atau bupati kebijakannya pasti berubah'," kata Ketua MPR Bambang Soesatyo menirukan pernyataan Megawati, dikutip dari Majalah Tempo edisi 12 Oktober 2019.
Belakangan, gagasan ini melebar ke mana-mana. Bukan cuma ingin mengembalikan haluan negara, ada pula yang menginginkan presiden-wakil presiden kembali dipilih MPR, perubahan masa jabatan presiden, hingga kembalinya utusan golongan di parlemen.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah mengusulkan presiden-wakil presiden dipilih MPR dan kembalinya utusan golongan, seperti era sebelum Reformasi.
"Mereka merasa kalau pemilihan (DPR/DPD) maka tokoh agama seperti dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) atau juga lain tidak mampu terpilih," kata Wakil Ketua MPR dari unsur DPD, Fadel Muhammad pada Kamis, 19 Desember 2019.
7. Pelemahan KPK Lewat Seleksi Capim dan Revisi UU KPK
DPR memilih lima calon pimpinan KPK periode 2019-2023. Secara aklamasi, DPR memilih Firli Bahuri sebagai ketua komisi antikorupsi. Langkah DPR dikritik karena mengabaikan rekam jejak Firli yang pernah melanggar etik ketika menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.
Mantan Kapolda Nusa Tenggara Barat itu diputus melanggar etik karena pernah bertemu dengan Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, ketika itu Gubernur NTB. Padahal, KPK tengah menelusuri kasus suap divestasi Newmont yang diduga melibatkan TGB.
Firli pun mengakui pernah bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Pertemuan itu juga berlangsung saat dia masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK. Menurut Firli, pertemuan tersebut terjadi tak sengaja kala dirinya diundang oleh Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Inspektur Jenderal Antam Novambar.
"Saya ketemu dengan Pak Antam betul, dan saat itu ada juga Ibu Megawati," kata Firli seusai fit and proper test dengan Komisi Hukum DPR pada Kamis, 12 September 2019.
Selain itu, DPR juga mengesahkan revisi UU KPK yang substansinya melemahkan lembaga antirasuah itu. Revisi UU KPK dilakukan secara diam-diam dan dalam tempo yang singkat. Hanya dalam 13 hari, revisi UU KPK dibahas hingga diketok.
Saat ini, hasil revisi UU KPK sedang diuji konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi. Sebanyak 13 tokoh senior yang bergelut di bidang pemberantasan korupsi menjadi pemohon uji formil tersebut. Pemohon dalam dalilnya menyebutkan, DPR melanggar prosedur formal pembentukan peraturan perundang-undangan yang dibuatnya sendiri.
8. Demo Mahasiswa Memprotes RUU Bermasalah
Akhir September menjadi puncak protes publik kepada DPR di tahun 2019 ini. Hingga puluhan ribu mahasiswa, pelajar, dan masyarakat mendemo DPR atas pengesahan revisi UU KPK dan rencana pengesahan sejumlah rancangan undang-undang kontroversial.
Menggelar aksi di depan gedung DPR, massa memprotes RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Ketenagakerjaan. Mereka juga mendesak segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
"Kami hari ini menyatakan mosi tidak percaya kepada Dewan Pengkhianat Rakyat," kata Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia Manik Margamahendra di hadapan sejumlah anggota DPR pada Senin, 23 September lalu.
Aksi massa memprotes DPR dan pemerintah ini meluas di pelbagai kota di seluruh Indonesia. Lantaran kekerasan aparat, dua mahasiswa di Kendari meninggal dunia, yakni Yusuf dan Randi.
DPR dan pemerintah akhirnya menunda pengesahan empat RUU, yakni RKUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba. Empat RUU itu kembali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2020-2014.
9. Puan Maharani Terpilih sebagai Ketua DPR
Pelantikan anggota DPR periode 2019-2024 pada 1 Oktober lalu diikuti dengan pelantikan pimpinan DPR. Putri Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani terpilih menjadi ketua DPR.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan itu sekaligus menjadi perempuan pertama yang menjadi ketua Dewan. Puan sebelumnya maju dari daerah pemilihan Jawa Tengah V yang meliputi Solo, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali.
Ketua Bidang Politik dan Keamanan DPP PDIP itu juga meraup suara terbanyak di Pileg 2019 untuk DPR RI, dengan perolehan 404.034 suara.
"Pecah telor pimpinan DPR perempuan setelah 70 tahun. Semoga bisa menjadi inspirasi lah," kata Puan di Kompleks Parlemen pada Selasa, 1 Oktober 2019.
10. DPR Sahkan 248 RUU Prolegnas 2020-2024
Menjelang akhir 2019, DPR mengesahkan sebanyak 248 RUU dalam Prolegnas 2020-2024. Prolegnas ini ditetapkan kendati menuai interupsi dari sejumlah anggota Dewan yang menilai target itu kelewat besar.
Sejumlah anggota DPR bahkan mengakui pesimistis dengan target tersebut. Anggota DPR Fraksi Golkar Ace Hasan Syadzily berpendapat daftar Prolegnas itu sebaiknya dikaji ulang.
"Terus terang saja secara pribadi saya enggak terlalu yakin ini bisa diselesaikan," kata Ace dalam interupsinya saat rapat paripurna pada Selasa, 17 Desember 2019.
Menurut Wakil Ketua Komisi VIII ini, Dewan semestinya menyetujui terlebih dulu target yang menjadi prioritas utama. Dia mengatakan pembahasan ulang lebih baik ketimbang target itu nantinya menjadi catatan bagi kinerja DPR periode 2019-2024.
Anggota Komisi III Fraksi PPP Arsul Sani menyampaikan hal senada. Arsul berujar, dia tadinya ingin menyambung interupsi Ace saat rapat paripurna. Namun niat itu urung dia lakukan lantaran Ketua DPR Puan Maharani akan pidato.
"Saya juga punya kekhawatiran. Karena di satu sisi kami juga ingin akomodasi masyarakat, tapi di sisi lain jangan-jangan kayak periode kemarin," ujar Arsul. Pada periode 2014-2019, DPR hanya mengesahkan 84 RUU dengan komposisi 49 kumulatif terbuka dan 35 RUU Prolegnas.