TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch atau ICW menyatakan menolak lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023 yang sudah dilantik Presiden Joko Widodo. ICW membeberkan lima alasan menolak lima pimpinan itu.
"Kemarin lima pimpinan KPK dilantik Presiden Jokowi, berikut sedikit catatan terkait penolakan ini," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, dalam keterangan tertulis, Sabtu, 21 Desember 2019.
Kurnia mengatakan salah satu pimpinan KPK diduga melanggar etik. Si pimpinan, kata dia, diduga sempat bertemu dengan kepala daerah yang berperkara di KPK. "ICW pada 2018 lalu melaporkan salah seorang Pimpinan KPK tersebut ke KPK atas dugaan pelanggaran kode etik," kata dia.
Pimpinan yang dimaksud Kurnia ialah Ketua KPK Firli Bahuri. Saat menjabat Deputi Penindakan KPK, Firli diduga pernah bertemu Gubernur NTB saat itu Tuan Guru Bajang Zainul Majdi. Firli saat mengikuti seleksi calon pimpinan KPK mengatakan telah diperiksa dan tidak ada pelanggaran etik.
Indonesia Corruption Watch menggelar aksi menolak pelantikan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi bermasalah di depan Gedung KPK, Jakarta, Jumat, 20 Desember 2019. M Rosseno Aji
Kurnia mengatakan alasan kedua penolakan ialah para pimpinan setuju revisi UU KPK. Ia mengatakan saat uji kelayakan di DPR, mayoritas Pimpinan KPK terpilih sepakat untuk merevisi Undang-Undang KPK. Padahal di saat yang sama draf yang ditawarkan oleh DPR dan pemerintah tidak pernah sekalipun memperkuat KPK. "Selain itu penolakan masyarakat juga sangat meluas perihal perubahan UU KPK tersebut," katanya.
Selain itu, kata Kurnia, salah seorang pimpinan juga sempat tidak patuh melapor harta kekayaan. Menurut ICW, catatan itu berimplikasi buruk bagi citra KPK yang selama ini dikenal menjunjung tinggi nilai-nilai integritas.
Alasan keempat, kata Kurnia, salah satu pimpinan juga tak memenuhi persyaratan minimal umur ketika dilantik. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, masih berusia 45 tahun, sementara dalam UU baru minimal umur pimpinan adalah 50 tahun.
Kurnia melanjutkan salah satu pimpinan juga pernah dipetisi oleh pegawai sendiri. Petisi itu dikirim pada April 2018. Pimpinan itu, kata dia, diduga menghambat penanganan kasus di Kedeputian Penindakan.