TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Riset Penelitian KontraS, Rivanlee Anandar, menilai pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md bahwa tak ada pelanggaran hak asasi manusia di era Presiden Joko Widodo atau Jokowi adalah menyesatkan.
"Mengatakan bahwa pascareformasi tidak ada pelanggaran HAM adalah narasi menyesatkan," kata Rivanlee dalam siaran tertulisnya, Kamis, 12 Desember 2019.
Rivanlee mengatakan, Mahfud telah menyerobot tugas Komnas HAM dengan menyatakan narasi baru tentang pengertian pelanggaran HAM. Mahfud, kata Rivanlee, juga secara tidak langsung mengabaikan tugas dan fungsi Komnas HAM.
Selain itu, Rivanlee menilai Mahfud juga berbicara pada konteks yang nyatanya jelas pelanggaran HAM, yaitu penanganan aksi massa dan Papua. "Dari konteks itu, ia mengabaikan tindakan negara, baik by ommision atau by commision, dalam melanggar HAM," kata dia.
Menurut Rivanlee, definisi hak asasi manusia diawali dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 1948. "Definisnya tegas pada kata universal yang kemudian menjadi prinsip. Universalitas HAM adalah landasan hukum HAM internasional," ucapnya.
Definisi yang disampaikan Mahfud bahwa pelanggaran HAM yang dilakukan aparat pemerintah terjadi dengan terencana dan tujuan tertentu, kata Rivanlee, sudah selesai setelah konvensi yang berlangsung pada 1948.
Konvensi itu menegaskan bahwa negara wajib mempromosikan dan melindungi semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar, terlepas dari sistem politik, ekonomi, dan budaya sebuah negara. "Singkat kata, tidak ada definisi per regional, per benua, per negara sekalipun," katanya.
Jika membenturkan kasus pelanggaran antara rakyat versus rakyat, Rivanlee menyebut Mahfud lupa bahwa ada peran negara yang abai atau membiarkan peristiwa tersebut.
Dalam kebebasan sipil, seperti pelanggaran kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah, Rivanlee mengatakan sampai saat ini kelompok minoritas masih kesulitan mengekspresikan keyakinan karena tekanan kelompok intoleran.
"Hal yang menjadi penyebab peristiwa tersebut masih berlangsung karena negara tidak bisa menjamin berlangsungnya peribadatan kelompok agama minoritas, sebaliknya malah cenderung melindungi praktik intoleran, seperti pembubaran, persekusi," kata dia.