INFO NASIONAL — Akses penduduk terhadap prasarana dan sarana air limbah permukiman sangat berkaitan dengan aspek kesehatan, pendidikan sosial, budaya, dan kemiskinan. Semakin mudah ketersediaan pada prasarana dan sarana air limbah dan pemahaman higienis, maka semakin kecil kasus penyebaran penyakit.
Solusi dalam penyediaan prasarana dan sarana air limbah permukiman, khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di lingkungan padat penduduk dan rawan sanitasi adalah dengan kegiatan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas).
Bekerja sama dengan Islamic Development Bank (IsDB), Pemerintah Indonesia mengembangkan program Sanitasi Berbasis Masyarakat yang disebut Sanimas IsDB.
Program Sanimas IsDB diselenggarakan dalam upaya pencapaian target akses universal terhadap air minum dan sanitasi serta memastikan keberlanjutannya. Keberhasilan program ini memerlukan upaya kolaboratif semua pihak, baik lintas kementerian, pemerintah daerah, unsur masyarakat, swasta, maupun lembaga mitra.
Program Sanimas IsDB dirancang dan dilaksanakan secara masif dalam rangka mewujudkan target SDG's 2030 secara bertahap, yaitu pada tahun 2024 akses sanitasi layak ditargetkan mencapai 90 persen, dengan termasuk akses sanitasi aman sebesar 20 persen. Kemudian pada tahun 2030, pencapaian akses sanitasi layak adalah 100 persen, termasuk 53,7 persen akses sanitasi aman.
Kehadiran program ini dilatarbelakangi oleh pesatnya laju urbanisasi di Indonesia dan dampak buruk tata kelola lingkungan yang kurang layak.
Melihat fakta yang ada, banyak sekali kejadian air limbah domestik dibuang ke saluran drainase atau ke kali di sekitar rumah. Kondisi ini tentu saja mempengaruhi lingkungan permukiman warga.
Di sisi lain, masih banyak masyarakat kota menggunakan tangki septik yang belum sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-2398-2002, sehingga dikhawatirkan tanki septik malah menjadi pusat penyebaran kontaminasi penyakit.
Menjawab persoalan itu, pemerintah Indonesia melakukan pendekatan baru untuk mencapai target akses sanitasi universal. Terhitung sejak 2013, Indonesia sudah beralih ke sistem pengelolaan air limbah domestik yang lebih komprehensif.
Sejak itu, secara bertahap, akses sarana sanitasi layak yang menjaga agar air limbah domestik terpisah dari jangkauan manusia mulai dibenahi. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan kota-kota di Indonesia.
Ratusan kota dan kabupaten berbenah. Mereka memulai peningkatan kualitas pengelolaan air limbah domestik yang diwujudkan melalui Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat (SPALD-T) di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR).
Agar lebih kuat, pemerintah menggandeng lembaga donor dalam pembiayaan. Salah satunya adalah IsDB. Melalui Sanimas IsDB, 13 provinsi, 58 kabupaten dan kota, dan 1.800 titik mulai menjalankan program ini. Program ini hadir membangun upaya penyehatan lingkungan permukiman dalam bentuk Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat (SPALD-T) dan membangun perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
SPALD-T dimanfaatkan rata-rata oleh 50-80 Sambungan Rumah (SR). Seluruh air limbah domestik dialirkan ke dalam saluran yang akan bermuara di bangunan pengolahan limbah atau IPAL. Di sini limbah mengalami beberapa kali tahapan proses, hingga ketika hasil olahan keluar dari outlet sudah dalam bentuk air limbah domestik ramah lingkungan.
Warga tak lagi harus memiliki tangki septik. Air hasil olahan limbah dari SPALD-T ini pada umumnya dimanfaatkan masyarakat untuk menyiram tanaman dan mengairi kebun. (*)