TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi I Bidang Penyiaran DPR Sukamta menilai polemik di internal Televisi Republik Indonesia atau TVRI saat ini merupakan akumulasi dari pelbagai persoalan. Lembaga Penyiaran Publik ini disorot setelah Dewan Pengawas memberhentikan sementara Helmy Yahya dari jabatan Direktur Utama.
"Sepertinya ini akumulasi berbagai persoalan," kata Sukamta kepada Tempo, Jumat, 6 Desember 2019.
Sukamta mengakui salah satu yang menjadi persoalan adalah kebijakan pembelian program asing oleh direksi TVRI. Politikus PKS ini pun menilai kedua belah pihak mestinya bisa mencari jalan keluar tanpa pecat-memecat. "Banyak masalah memang di TVRI. Walaupun kami tetap berharap bisa dicari solusi damai," ucap Sukamta.
Polemik TVRI mencuat lantaran Dewan Pengawas memberhentikan sementara Helmy Yahya dari jabatan direktur utama. Sebaliknya, Helmy melawan dan menyebut surat pemberhentian itu cacat hukum.
Anggota Komisi I DPR dari Partai Persatuan Pembangunan, Syaifullah Tamliha juga mengaku mendengar ihwal masalah pembelian program asing itu. Dewan Pengawas ditengarai tak setuju dengan kebijakan pembelian program asing oleh direksi.
Menurut Tamliha, setiap kebijakan direksi harus dikonsultasikan dan mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas.
"Kalau tidak setuju ya tidak bisa. Dia (direksi) kan diangkat oleh Dewan Pengawas, pertanggungjawabannya kepada Dewan Pengawas," kata dia.
Selain itu, Tamliha menyinggung temuan Komisi I DPR ihwal masalah pengelolaan sumber daya manusia TVRI. Dia menyebut ada ribuan pegawai di TVRI yang statusnya tidak jelas hingga sekarang.
Padahal, lanjutnya, ketidakjelasan ini bisa berujung merugikan para pekerja itu. Sebab ada aturan batas usia maksimal pengangkatan karyawan. "Mereka kan sudah berjasa besar, terutama yang di kawasan terpencil, pedalaman. Itu kan perlu dihargai," ujar Tamliha.
Masalah lainnya adalah ketidakjelasan hubungan kemitraan dengan Komisi I DPR. Merujuk Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang dipilih oleh Komisi I DPR adalah Dewan Pengawas. Dewan Pengawas selanjutnya memilih direksi.
Namun, yang menghadiri rapat-rapat dengan Komisi I DPR adalah direksi, bukan Dewan Pengawas. Dengan demikian Komisi I DPR tak bisa mengevaluasi kinerja Dewan Pengawas yang telah dipilihnya. "Saya juga bingung, kami milih orangnya tapi orangnya enggak pernah kami panggil-panggil," kata Tamliha.