TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengemukakan alasan yang membuat perilaku intoleransi terus terjadi di Indonesia.
Salah satunya adalah ihwal aturan hukum dan kebijakan yang dibuat pemerintah, baik nasional maupun daerah yang masih menunjukkan intoleransi.
"Misalnya Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/Penodaan Agama, Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, Peraturan Bersama (PBM) 2 Menteri Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah, serta sejumlah peraturan di daerah seperti SK Gubernur, Bupati, Perda atau SKB lainnya yang bersifat membatasi kebebasan beragama atau berkeyakinan," ujar Gufron di kantornya, Tebet, Jakarta Selatan pada Ahad, 17 November 2019.
Lebih lanjut, Gufron menilai aparat hukum turut andil membiarkan intoleransi, yakni dengan tidak tegasnya memberikan keadilan terhadap pelaku intoleran.
"Pemerintah gagal menjamin hak atas kemerdekaan beragama dan bahkan digunakan kelompok intoleran untuk melegitimasi praktik intoleransi kepada kelompok minoritas," ucap Gufron.
Gufron pun memaparkan contoh sikap intoleran yang dilakukan pemerintah. Salah satunya adalah wacana pelarangan ASN di Kementerian Agama mengenakan cadar atau celana cingkrang.
Sikap pemerintah itu dinilai Gufron tak hanya membatasi ekspresi keagamaan seseorang, tetapi juga andil untuk melabeli orang tersebut. Selain itu, kebijakan portal aduan terhadap ASN yang dinilai memiliki paham radikalisme.
"Meski portal itu sudah menentukan 11 poin yang masuk dalam kategori aduan, kebijakan ini bisa disalahgunakan oleh pihak tertentu," ucap Gufron.
Untuk itu lah, di Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada 16 November 2019, Imparsial mendesak pemerintah segera mencabut atau merevisi peraturan perundang-undangan dan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun lokal yang membatasi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Imparsial juga mendorong pemerintah melakukan penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap para pelaku intoleran untuk mencegah potensi keberulangan peristiwa intoleransi.