TEMPO.CO, Jakarta - Selama 5 tahun Jokowi memimpin, penguatan demokrasi seperti diabaikan. Meski begitu dia tetap menyatakan bahwa kehidupan demokrasi di eranya begitu diperhatikan.
Terakhir, Presiden Jokowi menyampaikannya dalam sebuah pertemuan dengan para tokoh nasional. Belum juga lima menit duduk dia langsung membuka pembicaraan soal komitmennya ihwal demokrasi.
“Saya ingin menegaskan kembali komitmen saya pada kehidupan demokrasi di Indonesia," ujarnya pada Kamis, 26 September 2019.
Presiden Jokowi menyatakan bahwa kebebasan pers dan kebebasan menyampaikan pendapat adalah pilar demokrasi yang harus terus dijaga dan dipertahankan. "Jangan sampai Bapak, Ibu sekalian meragukan komitmen saya mengenai ini.”
Di ruang pertemuan Istana Merdeka, Jakarta, tersebut hadir 40 tokoh. Mereka dari berbagai latar belakang, seperti budayawan, agamawan, hingga pakar hukum.
Presiden didampingi di antaranya Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko dan Staf Khusus Bidang Politik dan Pemerintahan Ari Dwipayana. Moeldoko duduk di sebelah kanan Jokowi, sedangkan Ari Dwipayana di sebelah kirinya.
Pertemuan sejatinya membicarakan sejumlah rancangan undang-undang yang menuai protes masyarakat, kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan, serta demonstrasi mahasiswa menolak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi di sejumlah daerah pada 23-25 September 2019.
Pakar Hukum Tata Negara Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, turut hadir. Menurut dia, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa polemik sejumlah rancangan undang-undang belakangan ini salah satunya karena tak adanya dukungan dari DPR.
Jokowi berpendapat, kata Feri, akibat minim dukungan politik itu apa yang dijalankan oleh parlemen bukanlah agenda Presiden. “Kurang lebih begitu keluh kesahnya (Presiden Jokowi)," ucapnya kepada Tempo pada Rabu lalu, 16 Oktober 2019.
Komitmen Jokowi terhadap demokrasi tadi berbeda dengan data. Tahun 2018 lembaga Economist Intelligence Unit mencatat indeks demokrasi Indonesia berada di skor 6,39 atau kategori flawed democracy (demokrasi yang cacat).
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai angka Economist Intelligence Unit cukup menohok. Di tingkat regional Asia Tenggara, Indonesia bertengger di urutan ketiga setelah Malaysia dan Filipina.
Bahkan cuma satu tingkat di atas Singapura, yang terbelakang demokrasinya meski secara ekonomi maju.
Data dari Freedom House juga menunjukkan penurunan indeks kebebasan berekspresi di Indonesia, yakni dari free (bebas) menjadi partly free (setengah bebas).
Menurut Firman, data-data tersebut menunjukkan pembangunan demokrasi Indonesia terganggu.
“Kontradiktif dengan apa yang diinginkan Presiden Jokowi seperti tercantum dalam poin kedua Nawacita,” kata dosen pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia itu kepada Tempo, Kamis, 10 Oktober 2019.
Poin kedua Nawacita memuat janji Jokowi ihwal penguatan demokrasi.
Poin tersebut berbunyi, “Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan."
Nyatanya setelah satu periode pemerintahan, Jokowi dinilai belum berupaya signifikan untuk memperkuat demokrasi dan institusi demokrasi. Reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan pun belum terjadi.
Salah satu indikasinya, menurut Firman, rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik dan DPR.
Survei Pusat Penelitian Politik LIPI pada 27 April-5 Mei lalu mencatat, tingkat kepercayaan responden terhadap DPR sebesar 76 persen, di urutan keenam setelah TNI, Presiden, KPK, Polri, dan Pengadilan.
Sigi Alvara Research pada 12-31 Agustus 2019 menempatkan partai politik dan DPR sebagai dua dari tiga lembaga yang paling rendah tingkat kepuasannya, Satu lembaga lainnya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Partai berada di urutan kesepuluh dengan skor 67,7 persen, sedangkan DPR di baris terakhir dengan tingkat kepuasan 66,7 persen.
Bukan berarti selama 5 tahun memerintah tak ada yag dilakukan Jokowi untuk memperbaiki demokrasi. Firman menerangkan, satu kebijakan Presiden Jokowi yang tergolong lumayan menyangkut penguatan institusi demokrasi adalah kenaikan bantuan anggaran untuk partai politik dari Rp 108 menjadi Rp 1.000 per suara sah di pemilihan umum.
Walau begitu Firman menganggap kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik tersebut belum cukup efektif.
Kebijakan politik Jokowi yang pro publik juga dinilai minim. Dia asyik dengan visinya sendiri di sektor infrastruktur yang dinilai Firman malah terkesan seperti ‘pembangunanisme’ Orde Baru. Firman justru melihat Jokowi seperti tersandera oleh kepentingan pihak-pihak yang telah ‘berkeringat’ untuknya di Pilpres 2014.
“Hal-hal lain dia agak coba nantikan dulu. Jadi secara personal, kolektif, kelembagaan, belum maksimal menunjukkan gestur membantu penguatan demokrasi secara menyeluruh,” katanya. “Kebijakan politiknya secara umum tidak encouraging bagi demokrasi Indonesia.”
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirajuddin Abbas membenarkan turunnya kebebasan sipil. Namun, dia mengatakan, penurunan itu terjadi lantaran kelompok-kelompok sipil yang mengganggu kebebasan sipil orang lain.
“Pelakunya bukan pemerintah, bukan negara, tapi masyarakat sendiri. Sayangnya masyarakat yang sewenang-wenang itu tidak ditindak secara tegas oleh pemerintah,” kata Sirajuddin kepada Tempo pada Senin lalu, 14 Oktober 2019.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | AHMAD FAIZ IBNU SANI