TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyatakan Presiden Joko Widodo tak mungkin dimakzulkan hanya karena mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau Perpu KPK. YLBHI mengungkit jumlah perpu yang dikeluarkan sejak era Presiden Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
Ketua YLBHI Asfinawati menyebutkan pada era Orde Lama, Presiden Soekarno telah menerbitkan 144 perpu. Banyaknya perpu yang dikeluarkan presiden pertama itu, kata Asfin, tak membuat Soekarno tidak dihormati. “Soekarno tetap dipasang kok fotonya, dan tetap dielu-elukan,” kata dia dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 5 Oktober 2019.
Asfin melanjutkan Presiden B.J Habibie juga pernah mengeluarkan 3 perpu. Padahal masa pemerintahannya relatif pendek hanya dari bulan Mei 1998 hingga Oktober 1999. Presiden Abdurrahman Wahid, kata dia, juga telah mengeluarkan 3 perpu. Selanjutnya, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan 4 perpu.
Di jaman pemerintahan SBY, kata dia, presiden juga telah mengeluarkan 20 perpu. SBY, kata dia, bahkan mengeluarkan Perpu tentang Pemilihan Kepala Daerah pada 2014. Padahal saat itu, Perpu Pilkada tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi. “Presiden SBY mengeluarkan perpu saat proses JR di MK dan tidak ada pemakzulan, bahkan dua periode,” kata Asfin.
Asfinawati menjabarkan data tersebut untuk membuktikan bahwa ucapan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh salah. Paloh sebelumnya mengatakan Jokowi dan partai koalisi pendukung pemerintah sepakat tidak mengeluarkan Perpu KPK.
Ia mengatakan Jokowi tak boleh sembarangan mengeluarkan perpu, sebab bisa dimakzulkan. Apalagi, UU KPK saat ini sedang digugat ke MK. “Salah-salah presiden bisa di-impeach karena itu,” kata Paloh di Gedung DPR, pada 2 Oktober 2019.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Bayu Dwi Anggono mencatat Jokowi baru mengeluarkan 4 perpu selama menjabat sebagai presiden. Dia pun mencatat Jokowi tak perlu menunggu sampai adanya demonstrasi besar-besaran untuk mengeluarkan perpu tersebut.
Ia mencontohkan ketika Jokowi menerbitkan Perpu tentang hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak pada 2016 dan perpu organisasi masyarakat. Ia mengatakan sebenarnya saat itu Jokowi masih memiliki pilihan untuk membuat aturan tersebut melalui proses legislasi biasa. Namun, Jokowi memilih langsung menerbitkan perpu. “Artinya, pemahaman ihwal kegentingan memaksa untuk mengeluarkan perpu itu subyektif dari presiden,” kata dia.