TEMPO.CO, Jakarta - Sejarah dan budaya Melayu di Kampung Segeram, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, kian dilupa, terkikis peradabannya sendiri. Keterbatasan akses jalan darat, listrik, telekomunikasi, dan pendidikan telah membuat Segeram ditinggalkan penghuninya yang kini tersisa 32 Kepala Keluarga.
Tokoh masyarakat kampung Segeram, Heru Diwan Arpas, berusaha menceritakan sisa-sisa peninggalan leluhurnya kepada Tempo pada Senin sore, 23 September 2019. "Ini kampung tertua, kampung sejarah Natuna," katanya mengawali cerita.
Pemuda 30 tahun yang baru menyelesaikan studi di Universitas Maritim Raja Ali Haji itu menjelaskan, budaya dan adat-istiadat Melayu di Segeram telah luntur sejak awal 2000. Tradisi yang masih bertahan dan tersisa hanya tradisi lokal di bidang keagamaan, seperti Maulid Nabi dan tahun baru Islam. "Di sini dulu ada tarian Melayu, tapi sekarang hilang. Baju adat hilang, karena baju biasa yang di luar sudah mulai masuk, jadi berkurang," katanya.
Selain budaya dan adat yang luntur, pecahan keramik zaman lampau yang bisa ditemui di jalanan kampung, seperti piring dan sendok, tak terurus. Heru menyebut tak ada warga yang mau memungutnya karena tak tahu sejarahnya, apalagi cara merawat dan mengelolanya. Namun di balik itu semua, ada sebuah peninggalan sejarah yang kini tengah dirawat dan dijaga oleh Heru dan sejumlah warga Segeram.
Heru bercerita, Segeram memiliki 7 lokasi makam bersejarah nan unik. Tak ada duanya di Natuna, katanya. Makam itu bernisankan batu karang putih berpori-pori, diukir sedalam 5 cm membentuk pola. "Makam itu sejarah yang terlupakan. Sekarang kami mau coba bangkitkan kembali sejarah itu bahwa Natuna punya sejarah yang dimulai dari Segeram," katanya.
Dermaga di pesisir Kampung Segeram menjadi tempat kapal Feri berlabuh, menaikkan dan menurunkan penumpang masuk dan keluar kampung Segeram, kabupaten Natuna. Tempo/Halida Bunga
Berdasarkan penelusuran Tempo, tujuh lokasi makam itu tersebar tak terlalu berjauhan. Masing-masing lokasi terdiri dari dua kuburan yang berdampingan. "Itu makam kami sama sekali enggak tahu siapa, kerajaan apa, tahun berapa. Enggak ada tertulis apa-apa juga," ujar Heru.
Terkait asal muasal Natuna, masih beredar di masyarakat sebuah cerita rakyat berjudul Putri Melayu Jati. Wijaya, Ketua Umum Pengurus Pusat Forum Komunikasi Guru Ilmu Pengetahuan Sosial PGRI mengatakan kebenaran dalam kisah itu bias. "Belum tahu kebenarannya karena itu perspektif yang harus digali maknanya. Perlu pengkajian," kata Wijaya kepada Tempo pada Selasa, 24 September 2019 di Kampung Segeram.
Wijaya menjelaskan, Segeram termasuk kategori sejarah lokal yang menurutnya jarang dieksplorasi. "Kalau dibiarkan tidak ada yang menulis sejarah, maka missing link. Kehilangan kebudayaan," kata Wijaya. Kekhawatiran Wijaya akan hilangnya budaya, adat-istiadat dan sejarah Segeram bukan tanpa alasan.
Penurunan jumlah penduduk di Segeram turut berkontribusi menghentikan budaya tutur. Jika aspek sejarah dan budaya tak diperhatikan, masyarakat akan melakukan mobilitas sosial dan pindah mencari kehidupan yang lebih baik.
"Aspek sejarah penting sebagai identitas, kebanggaan dan kehormatan. Mengapa? Karena dia akan tahu dari mana dia berasal dan apa saja yang harus dilakukan untuk tempat kelahirannya," ujar Wijaya.
Wijaya menegaskan, Segeram harus hidup. Meski adat dan budaya Melayu sudah hilang, hal itu dapat digali, ditumbuhkan lagi dengan kajian akademis dan keterlibatan sejarawan, antropolg dan sosiolog. Hal ini memungkinkan jika nantinya Segeram menjadi kampung adat. "Tapak sejarah Natuna lah yang jadi alasan dibuatnya kampung adat," ujarnya.