TEMPO.CO, Jakarta - Gerakan Gejayan Memanggil di Yogyakarta pada Senin, 23 September 2019 tak hanya diikuti mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta, melainkan juga para dosen.
Meski beberapa rektor perguruan tinggi menolak aksi tersebut, tapi para dosen itu tetap berada satu barisan dengan mahasiswa. Salah satu yang ikut turun ke jalan adalah dosen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada atau Fisipol UGM Randy Wirasta Nandyatama.
Senin, pukul 11.00, Randy berjalan kaki mengiringi mahasiswa dari kampus UGM menuju Gejayan titik kumpul para demonstran. “Gerakan ini menjaga civic duty (tugas kewargaan) dalam konteks demokrasi. Tanggung jawab politik tidak berhenti saat pemilu,” kata Randy kepada Tempo di Fisipol UGM, Selasa, 24 September 2019.
Dia bahkan mengizinkan mahasiswanya untuk meninggalkan kelasnya dan bergabung dengan demonstrasi tersebut. Di kelas yang dia ampu Senin sore setelah ia bergabung dengan mahasiswa, hanya delapan dari 40 mahasiswa yang datang.
Senin pagi, Randy juga mengumumkan bahwa mahasiswanya boleh ikut demonstrasi dan boleh ikut kelasnya. Kehadiran mahasiswa di kelasnya tidak mempengaruhi absensi. Dalam akun twitternya Randy mencuit bahwa proses belajar tidak harus dari kelas. “Saya bilang jangan biarkan suara kalian sebagai warga negara tak dimanfaatkan,” kata dia.
Randy bangga dengan gerakan mahasiswa tersebut karena mereka berhasil menyuarakan isu-isu publik. Dia mencontohkan solidaritas dan kepedulian pada isu publik, di antaranya tentang kekerasan seksual dengan mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, menolak pelemahan KPK, dan peduli pada kekerasan yang terjadi di Papua.
Selain Randy, dukungan juga muncul dari Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Diah Kusumaningrum. Bersamaan dengan jam demonstrasi pada pukul 13.00-15.00, di kelas yang diampu Diah terdapat 27 mahasiswa untuk kelas Konflik: Analisis dan Transformasi.
Dukungan dosen terhadap mahasiswa itu bermacam-macam, di antaranya menyebarkan poster di sosial media. Ada juga yang memindahkan kuliah mahasiswa di jam lain. Ada pula yang membatalkan kelas dengan memberi tugas khusus.
Diah mengatakan gerakan Gejayan Memanggil telah memberi kesempatan bagi banyak orang, untuk menjalankan tugas kewargaan dengan baik. Gerakan itu telah mengingatkan dan memberi teladan bahwa dalam demokrasi, tugas warga negara tidak berhenti di bilik suara saat pemilu, tetapi berlanjut hingga mengawal dan mengawasi kebijakan. “Mereka mengingatkan bahwa warga sipil tidak punya siapa-siapa selain satu sama lain, sehingga harus selalu bisa mengembangkan solidaritas antarkelompok,” kata Diah.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, Pipin Jamson juga datang. Dia datang sebagai bentuk dukungan terhadap aksi pro-demokrasi. Aksi itu, kata dia, merupakan usaha menghimpun keresahan dan keinginan tulus untuk mengemukakan pendapat dan menjadi warga negara aktif, kritis, progresif, memiliki nalar publik dan mengawal demokrasi di negeri ini. “Justru ruang demokrasi ini kita jaga bersama, dengan prinisip damai dan nirkekerasan. “Tanpa ragu saya mendukung mereka,” kata dia.
Ketua Program Studi S1 Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Abdul Gaffar Karim menyebutkan tudingan demonstrasi mahasiswa memprotes di antaranya Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai upaya mendelegitimasi hasil pemilihan umum yang menetapkan Joko Widodo sebagai presiden tidak terbukti.
Gaffar melihat demonstrasi #Gejayan Memanggil yang sebagai gerakan yang berhasil menarasikan ulang sejarah gerakan mahasiswa yang sehat dan produktif. Ini juga merupakan bagian dari kritik terhadap pemerintahan yang demokratis. Tudingan gerakan ditunggangi dan delegitimasi Presiden Jokowi tidak terbukti. “Nggak usahlah curiga gerakan itu akan jatuhkan presiden, delegitimasi pelantikan,” kata Gaffar.