TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga swadaya masyarakat hak asasi manusia, Imparsial menilai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengandung pasal-pasal bermasalah yang mengancam kebebasan sipil dan bertentangan dengan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi. Di antaranya pasal penghinaan terhadap Presiden (Pasal 218-220), pasal kejahatan HAM (Pasal 599-600) dan lainnya.
Untuk itu, Direktur Imparsial Al Araf meminta pengesahan RKUHP ditunda untuk menyelamatkan demokrasi dan reformasi hukum saat ini. "Pembahasan RKUHP sebaiknya dibahas oleh anggota DPR terpilih periode 2019-2024." Araf menyampaikannya melalui keterangan tertulis pada Jumat, 20 September 2019.
Selain RKUHP, Imparsial juga menolak revisi UU KPK yang baru disahkan DPR beberapa waktu lalu karena dinilai cacat formil, tidak mematuhi pembentukan perundangan-undangan (UU No.11 Tahun 2012). "Revisi UU KPK cacat formil karena dilakukan tanpa proses yang partisipatif dan tidak termasuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2019," ujar Araf.
Pembahasan revisi UU KPK dinilai tergesa-gesa. Padahal, prinsip utama dalam pembuatan perundang-undangan itu harus dilakukan secara transparan dan partisipasif. Secara substansi, UU KPK akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang sudah berjalan. "Oleh karena itu, kami mendesak Presiden untuk segera menerbitkan Perpu KPK sebagai upaya penyelamatan masa depan pemberantasan korupsi."
Perpu KPK dinilai sangat mungkin dilakukan karena pernah ada preseden hukum dimana Pemerintah pada 2014 pernah menerbitkan Perpu tentang Pilkada yang membatalkan UU Pilkada yang sudah disahkan DPR karena mendapat penolakan dari masyarakat. Perpu KPK tersebut harus membatalkan UU KPK yang baru disahkan oleh DPR dan mengembalikan pengaturan tentang lembaga anti rasuah tersebut kepada aturan hukum sebelumnya.