TEMPO.CO, Jakarta - Divisi Advokasi Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), Gulfino Guevarrato, menduga ada duopoli dalam pengadaan obat antiretroviral (ARV) bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Hal ini terlihat dari perbedaan harga jual dari dua perusahaan farmasi yang mengantongi izin edar obat, yakni PT Kimia Farma dan PT Indofarma ke pemerintah dengan harga aslinya.
Fino menjelaskan untuk kebutuhan ARV ini, pemerintah mengimpor dari India. Pada 2018, misalnya, menurut dokumen resmi agen pengadaan, harga di pasaran internasional sekitar Rp 115 ribu per botol. Namun saat dijual ke pemerintah melonjak berkisar Rp 385 ribu.
"Artinya ada selisih sekitar Rp 270 ribu per botol keuntungan yang masuk ke perusahaan BUMN farmasi selama ini," katanya dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta, Kamis, 19 September 2019.
Melonjaknya harga ini, kata Fino, tidak masuk akal. Alasannya impor bahan baku dan obat jadi ARV tidak dikenakan bea masuk dan pajak pertambahan nilai sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/KMK.010/2005.
Dugaan korupsi di pengadaan obat ARV pada 2016 itu pula, kata Fino, yang sempat dibongkar oleh Kejaksaan Agung.
Sayangnya, kata Fino, pengadaan obat ARV masih bermasalah hingga sekarang. Puncaknya saat Kementerian Kesehatan gagal mengadakan persediaan obat ARV untuk tahun ini imbas tidak tercapainya kesepakatan harga antara pemerintah dan dua perusahaan BUMN tersebut.
Fino menyayangkan sikap Kementerian Kesehatan yang terkesan tak berdaya menghadapi dua perusahaan tersebut. Padahal obat ARV ini sangat penting bagi orang dengan HIV/AIDS. "Sebentar lagi akan ada lelang untuk pengadaan 2020. Kami mengingatkan jangan sampai gagal lagi seperti kemarin," ujar Fino.