TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Keadilan untuk Munir mendesak pemerintah melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dengan memasukkan ketentuan khusus tentang perlindungan pembela HAM. Tujuannya agar kasus-kasus kekerasan terhadap pembela HAM seperti kasus Munir tidak terulang lagi di kemudian hari.
"Upaya amandemen UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dengan memasukkan ketentuan perlindungan pembela HAM menjadi penting sebagai upaya memastikan bahwa negara bertanggung jawab dalam upaya perlindungan pembela HAM," kata Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf saat jumpa pers 15 Tahun Meninggalnya Munir di kantor KontraS, Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat, 6 September 2019.
Menurut Al Araf, mandeknya kasus Munir selama 15 tahun berdampak pada munculnya kekerasan pada pembela HAM karena tidak adanya jaminan perlindungan kepada mereka. Akibatnya, kasus pelanggaran HAM baru pun bermunculan, misalnya kasus penyiraman air keras kepada mantan penyidik KPK Novel Baswedan.
Senada dengan Al Araf, dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti berpendapat bahwa tidak selesainya kasus Munir akan membentuk opini publik bahwa kekerasan atau pelanggaran HAM itu bisa ditoleransi oleh negara.
"Sepanjang kasus Munir tidak selesai, ya, jangan heran kalau ada kasus-kasus pelanggaran HAM baru seperti Novel Baswedan. Atau kasus lain di mana para pejuang HAM atau orang yang bekerja di lembaga antikorupsi atau hal-hal lain yang menyentuh kekuasaan bisa kena teror," kata Bivitri pada kesempatan yang sama.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berharap bahwa pemerintah segera menyelesaikan kasus Munir dan merevisi UU tentang HAM.
"Supaya ke depannya para aktivis yang menyuarakan penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM, serta tindak korupsi tidak dapat dilenyapkan begitu saya tanpa ada pertanggungjawaban," kata Usman.
Koalisi Keadilan untuk Munir merupakan gabungan dari beberapa kelompok atau individu yang mendorong penyelesaian kasus pembunuhan Munir pada 7 September 2004. Meeka diantaranya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Amnesty International Indonesia, Imparsial, serta LBH Jakarta.
GALUH PUTRI RIYANTO