TEMPO.CO, Jakarta-Terpidana kasus korupsi e-KTP Setya Novanto mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Salah satu novum yang ia ajukan adalah keterangan tertulis agen khusus Biro Investigasi Federal atau FBI Amerika Serikat, Jonathan E. Holden.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh FBI yang dijadikan bukti di pengadilan Amerika itu tidak ada pengiriman uang," kata pengacara Setya, Maqdir Ismail di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 28 Agustus 2019.
Menurut Maqdir, Jonathan pernah memberikan keterangan secara tertulis pada 9 November 2017 mengenai hasil pemeriksaan Johannes Marliem dan hasil penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi. Marliem adalah Direktur Biomorf Lone LLC Amerika Serikat. Perusahaan ini mengelola automated finger print identification system (AFIS) merk L-1 pada proyek e-KTP. Berdasarkan putusan hakim, Marliem memberikan duit e-KTP US$3,5 juta kepada Setya, melalui Direktur Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.
Menurut Maqdir, Jonathan dalam suratnya mengatakan tidak menemukan fakta atau pengakuan adanya pengiriman duit US$3,5 juta dari Marliem kepada siapapun.
Selain itu, Setya juga mengajukan novum kedua berupa surat permohonan justice collaborator Irvanto yang juga merupakan keponakannya. Dalam surat bertanggal 13 April 2018 itu, Irvanto menerangkan bahwa tidak ada fakta bahwa Setya telah menerima uang sebesar US$3,5 juta.
Keterangan Irvanto itu kemudian diajukan menjadi novum ketiga oleh Setya. Maqdir mengatakan pengakuan Irvanto membuktikan bahwa kliennya tidak pernah menerima duit e-KTP, melalui keponakannya.
Novum keempat yang diajukan mantan Ketua Umum Partai Golkar ini juga masih didasarkan atas surat JC Irvanto. Maqdir mengatakan keterangan Irvanto membuktikan bahwa kliennya tidak pernah memerintahkan Irvanto menerima uang melalui money changer. Ia mengatakan yang memerintahkan Irvanto mengambil uang adalah pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Bahwa pertimbangan judex factie yang menganggap pemohon PK menerima uang melalui Irvanto dan diserahkan melalui money changer adalah keliru," kata Maqdir.
Novum terakhir yang diajukan Setya adalah rekening koran Bank OCBC Singapura dari 1 Januari 2014 sampai 31 Januari 2014 atas nama Multicom Investment, Pte. Menurut Maqdir, bukti itu menunjukan bahwa kliennya tidak pernah menerima uang e-KTP sejumlah US$3,8 juta melalui pengusaha Made Oka Masagung. Ia mengatakan yang menerima uang tersebut adalah Anang Sugiana Sudihardjo terkait pembelian saham perusahaan Neuraltus Pharmaceutical.
Dalam permohonannya, Maqdir menyatakan lima novum itu belum dipertimbangkan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang memvonis Setya 15 tahun penjara dalam perkara e-KTP. Maqdir meminta majelis hakim mengabulkan permohonan PK dan membebaskan kliennya dari seluruh dakwaan. "Membebaskan terpidana oleh karena itu dari seluruh dakwaan tersebut," kata Maqdir.