TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi meminta Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK periode 2019-2023 tak perlu reaktif dalam menanggapi masukan dari publik, termasuk soal Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) . Menurut KPK, aturan mengharuskan seleksi dilakukan secara demokratis dan terbuka.
"Saya kira sebaiknya panitia seleksi tidak perlu reaktif dan resisten dengan masukan-masukan yang ada dari publik," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, di kantornya, Jakarta, Senin, 5 Agustus 2019.
Sebelumnya, anggota pansel capim KPK, Hendardi menuding kritik koalisi masyarakat sipil soal isu kepatuhan LHKPN ditujukan untuk menjegal calon dari luar KPK. Sebab, hanya capim dari unsur KPK yang sudah siap dan terbiasa dengan urusan LHKPN.
"Ini cara lain untuk menjegal calon lain. Itu gak adil dong. Kami mengajukan syarat yang sama, kok, dengan 4 tahun lalu, gak kami lebihkan, gak kami kurangkan," kata Hendardi.
Isu kepatuhan LHKPN digulirkan oleh koalisi masyarakat sipil antikorupsi dalam seleksi ini. Menurut koalisi, LHKPN adalah syarat wajib bagi para pendaftar capim KPK. Koalisi menyatakan kepatuhan LHKPN dapat menjadi indikator integritas calon dalam hal antikorupsi.
KPK punya pandangan yang sama dengan koalisi. Menurut KPK, ada aturan yang mewajibkan para penyelenggara negara wajib membuat LHKPN secara rutin. Maka itu, KPK mengganggap janggal bila pansel mengabaikan perintah undang-undang tersebut.
Sementara itu, pansel berkukuh LHKPN bukan syarat pendaftaran capim. Menurut pansel, capim wajib menyerahkan LHKPN bila sudah terpilih. "Itu kan ada dari undang-undangnya," kata Ketua Pansel Yenti Garnasih, di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekretariat Negara, Cilandak, Jakarta, Ahad, 28 Juli 2019.
Yenti merujuk UU KPK Pasal 29 persyaratan menjadi pimpinan komisi antikorupsi. Huruf k Pasal itu, menyatakan pimpinan KPK wajib mengumumkan harta kekayaannya sesuai peraturan yang berlaku. Menurut Yenti, pansel menafsirkan aturan itu bahwa pimpinan KPK wajib menyetor LHKPN bila sudah terpilih.