TEMPO.CO, Jakarta - Polisi akan menyerahkan berkas tahap dua berupa barang bukti dan tersangka korupsi PLN yakni mantan Direktur Utama PLN Nur Pamudji dalam pengadaan bahan bakar minyak (BBM) high speed diesel (HSD) ke Kejaksaan Agung. “Tanggal 10 Juli akan diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk tahap dua," kata Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri Komisaris Besar Djoko Poerwanto di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan pada Jumat, 28 Juni 2019.
Berkas perkara ini telah dinyatakan lengkap pada 14 Desember 2018.
Baca juga: Eks Dirut PLN, Nur Pamudji, Jadi Tersangka Korupsi
Djoko menjelaskan kasus ini bermula dari kebutuhan 9 juta ton BBM PLN pada 2015. Saat itu PLN membuka tender pengadaan 2 juta ton yang dibagi menjadi lima tender. Sedangkan sisanya, 7 juta ton, diadakan Pertamina tanpa melalui tender.
Melalui tender, Pertamina memenangi satu kontrak dengan harga penawaran lebih rendah daripada harga jual. Sedangkan empat tender lain dimenangi Shell. Namun karena posisi Shell sebagai produsen asing, empat tender yang dimenangi perusahaan itu ditawarkan kembali ke produsen dalam negeri yang bisa memasok dengan harga setara. Belakangan, Pertamina dan PT (TPPI) dimenangkan karena bisa menyaingi harga yang ditawarkan Shell.
Dengan demikian, empat tender yang dimenangi Shell diambil alih Pertamina dan TPPI masing-masing dua tender. Akibatnya, kata Adi, ada dua harga yang berbeda dalam pembelian BBM oleh PLN ke Pertamina. Harga pertama merupakan harga penunjukan langsung, sedangkan harga kedua diperoleh lewat tender. Inilah yang kemudian memicu penyidikan polisi.
Baca juga: Sebelum Sofyan Basir, Tiga Direktur Terjerat Kasus Korupsi PLN
Polisi menyatakan perkara korupsi PLN itu merugikan negara Rp188.745.051.310,72. Penyidik telah menyita sejumlah aset senilai Rp173.369.702.672,85 dan memeriksa 60 saksi.
Meski sudah memeriksa 60 saksi, polisi belum menetapkan tersangka lain selain Nur Pamudji. Djoko mengatakan saat ini sudah ada laporan polisi baru sehubungan dengan perkara korupsi PLN itu. “Gelar perkara sudah, tapi kami perlu memanggil saksi dulu sebelum menetapkan tersangka.”
Pamudji disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto KUHP Pasal 55 ayat 1 ke-1.