TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami percakapan antara Direktur Utama PT PLN nonaktif Sofyan Basir dan mantan Direktur Pengadaan Strategis 1 PT PLN Nicke Widyawati terkait proyek PLTU. Penyidik mengklarifikasi hal itu saat memeriksa Nicke sebagai saksi untuk Sofyan pada Senin, 10 Juni 2019.
Baca juga: KPK Periksa Lagi Dirut Pertamina Nicke Widyawati
“Diklarifikasi terkait komunikasi antara tersangka SFB dengan saksi, tentu komunikasi terkait proyek PLTU,” kata juru bicara KPK, Febri Diansyah saat dihubungi, Selasa, 11 Juni 2019.
Febri menuturkan penyidik juga mendalami soal tupoksi Nicke dalam posisinya sebagai Direktur perencanaan dan perihal Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) PT PLN 2016-2025. Nicke sempat menjabat sebagai Direktur Perencaan pada 2014-2017, sebelum menjadi Direktur Utama PT Pertamina. “Khususnya tentang proyek PLTU Riau-1 dan RUPTL,” kata Febri.
Nicke sudah diperiksa sebanyak tiga kali dalam kasus ini. Pertama kali ia diperiksa pada September 2018 sebagai saksi untuk Wakil Ketua Komisi Energi DPR Eni Maulani Saragih yang kala itu masih berstatus tersangka. KPK kembali memeriksa Nicke pada 2 Mei 2019 dan 10 Juni 2019, setelah ditetapkan jadi tersangka.
Seusai pemeriksaannya yang ketiga, Nicke membenarkan dicecar penyidik soal tugasnya sebagai Direktur Perencanaan. Dia mengatakan penyidik juga menanyainya seputar RUPTL. “Iya, enggak banyak berubah,” kata dia.
Proyek PLTU Riau-1 menjadi salah satu proyek pembangkit batu bara yang masuk ke dalam RUPTL PLN 2016-2025. Saat proyek ini masuk RUPTL, Nicke masih menjabat sebagai Direktur Perencaan Strategis 1 PLN.
PLTU Riau-1 menggunakan skema mulut tambang. Skema proyek ini mensyaratkan pembentukan perusahaan patungan yang terdiri dari PT PLN atau anak usahanya dan perusahaan swasta. Dalam konsorsium perusahaan itu, 51 persen saham harus dimiliki PLN dan sisanya swasta.
Anak usaha PLN yang akhirnya masuk ke dalam konsorsium penggarap Proyek PLTU Riau-1 adalah PT Pembangkit Jawa Bali Investasi dan PT PLN Batubara. Kedua anak usaha PLN itu membentuk perusahaan patungan bersama dua pihak swasta yakni PT China Huadian Engineering Co dan Blackgold Natural Resources Ltd. Seorang pengusaha, Johannes Budisutrisno Kotjo adalah agen yang mengusahakan dua perusahaan swasta bisa masuk ke dalam konsorsium penggarap proyek.
Untuk mendapatkan proyek tersebut, Kotjo menyuap Wakil Ketua Komisi Energi Eni Maulani Saragih dan Menteri Sosial Idrus Marham sebesar Rp 4,75 miliar. Tugas Eni yakni melobi Sofyan agar memilih konsorsium Blackgold sebagai penggarap proyek seharga Rp12 triliun itu. Eni juga memfasilitasi sejumlah pertemuan antara Kotjo dan Sofyan. Dua politikus Partai Golkar itu telah divonis bersalah oleh pengadilan.
Komisi menjerat Sofyan menjadi tersangka karena ia juga diduga aktif menghadiri sembilan pertemuan membahas proyek PLTU Riau-1 sepanjang 2015-2018. Eni selalu hadir dalam sembilan pertemuan, sementara Kotjo ikut 7 pertemuan dan Idrus hanya sekali ikut pertemuan di kediaman Sofyan Basir.
KPK menduga dalam pertemuan tersebut Sofyan ikut mendapatkan janji suap dari Kotjo. Komisi menyebut uang yang akan diterima Sofyan, jumlahnya sama dengan yang diterima Eni Saragih. Selain itu, Sofyan juga diduga menyuruh salah satu Direktur PLN untuk berhubungan dengan Eni dan Kotjo.
Saat diperiksa pertama kali sebagai tersangka pada 6 Mei 2019, Sofyan membantah menerima fee dalam proyek PLTU Riau-1. “Enggak ada, tidak,” ujar dia.
LINDA TRIANITA