3. Isi perjanjian
Kemenkumham belum merilis isi perjanjian MLA Indonesia-Swiss. Namun secara umum, isi perjanjian itu menyangkut: membantu menghadirkan saksi; meminta dokumen, rekaman, dan bukti; membantu penanganan benda dan aset untuk tujuan penyitaan atau pengembalian aset; menyediakan informasi berkaitan dengan suatu tindak pidana; mencari keberadaan seseorang dan asetnya.
Berikutnya, melacak, membekukan, menyita hasil dan alat yang digunakan dalam melakukan tindak pidana; meminta dokumen yang berkaitan dengan suatu tindak pidana; melakukan penahanan terhadap seseorang untuk diinterogasi dan konfrontasi; memanggil saksi dan ahli untuk memberikan pernyataan; dan menyediakan bantuan lain sesuai perjanjian yang tidak berlawanan dengan hukum di negara yang diminta bantuan.
4. Contoh kasus
Ada beberapa contoh kasus yang telah terbukti serta dan diduga berhubungan dengan pelarian aset pelaku di Swiss. Yang telah terbukti contohnya perkara terpidana 10 tahun kasus pengucuran kredit kepada PT Cipta Graha Nusantara, Eduardus Cornelis William Neloe. Mantan Direktur Utama Bank Mandiri itu memiliki aset US$ 5,2 juta di Bank Swiss.
Pemerintah Indonesia sempat berhasil meminta Swiss membekukan aset milik Eduardus sebelum akhirnya dibuka kembali di Deutsche Bank. Pemerintah Swiss menilai pembekuan itu tak memiliki landasan hukum meski Eduardus sudah divonis bersalah.
Dua contoh kasus lainnya yang diduga berkaitan dengan pelarian aset ialah kasus Bank Century dan korupsi dana Yayasan Supersemar. Ihwal kasus Century, pada 30 Oktober 2010 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Hesham al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi 15 tahun penjara, ganti rugi, dan merampas barang bukti seperti dana Telltop US$ 220 juta di Dresdner Bank Swiss.
Adapun terkait Supersemar, Majalah Time pada Mei 1999 melaporkan bahwa Soeharto memiliki harta sebanyak Rp 135 triliun dari hasil korupsi, salah satunya melalui Yayasan Supersemar. Harta itu menyebar di Swiss, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Inggris.