Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pandangan Rahman Tolleng dalam Surat Dari dan Untuk Pemimpin

Reporter

image-gnews
Aktivis Angkatan 1966, Rahman Tolleng. TEMPO/Nita Dian
Aktivis Angkatan 1966, Rahman Tolleng. TEMPO/Nita Dian
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Tokoh pergerakan Rahman Tolleng meninggal pada Selasa, 29 Januari 2019 di Rumah Sakit Abdi Waluyo Jakarta. Pria kelahiran Sinjai, 5 Juli 1937 ini pernah dicari rezim Orde Lama karena menentang Dekrit Presiden Sukarno.

Baca: Tokoh Pergerakan Rahman Tolleng Meninggal

Mardiyah Chamim, Direktur Eksekutif Tempo Institute, mengatakan setiap ulang tahun, Rahman Tolleng selalu memesan 20 eksemplar buku berjudul "Surat dari dan untuk Pemimpin". Buku ini merupakan bagian dari program Menjadi Indonesia yang diselenggarakan Tempo Institute. Oleh Rahman Tolleng buku tersebut dibagikan kepada anak-anak muda yang dianggap sebagai muridnya. 

Berikut ini isi surat dalam buku itu:

NEGERI INI MILIK KITA BERSAMA

Sebuah Renungan bagi Kaum Muda
Oleh A. Rahman Tolleng

Wij zijn de bouwers van de tempel niet
Wij zijn enkel de sjouwers van de stenen
Wij zijn het geslacht dat moet vergaan
Op dat een betere rijze uit onze graven
(Henriëtte Roland Holst)

Terus terang, saya tidak tergolong akrab dengan puisi. Tapi puisi yang satu ini benar-benar telah mencuri hati saya sejak pertama kali membacanya. Ketika itu, 60 tahun yang silam, saya baru duduk di bangku SMA di Makassar. Puisi yang digubah oleh seorang perempuan sosialis Belanda ini seakan melekat di benak saya.

Hingga kini, selain syairnya, saya masih menghafalkan terjemahan bebasnya di luar kepala: “Kami ini bukanlah pembangun candi / kami hanyalah pengangkut bebatuan / Kami adalah angkatan yang musti punah / Agar tumbuh generasi yang lebih sempurna di atas kuburan kami”.

Saya membacanya dari sebuah buklet yang terbit dalam rangka peringatan Proklamasi Kemerdekaan. Dari segi mutu sastra, saya tak mampu menilainya. Tapi bagi saya, puisi Roland Holst ini sedikit banyaknya merefleksikan kiprah dan kesucian hati para ksatria yang telah mendahului kita.

Mereka bertarung menyambung nyawa dengan semboyan: “Merdeka atau Mati” --sebuah semboyan yang kini terasa absurd. Itu semuanya mereka lakukan demi kemerdekaan, demi perwujudan kecintaan kepada tanah air, dan demi satu harapan mulia, “agar tumbuh generasi yang lebih sempurna....”

Apa lacur? Generasi demi generasi telah berlalu, tapi harapan itu masih tetap jauh.

Konstitusi menyebutkan negara ini berbentuk Republik. Anak muda sekarang tentu tidak tahu para pejuang dulu dijuluki kaum “Republikein”. Tapi kata republik kini seolah tak berarti apa-apa, kecuali bahwa Indonesia bukan kerajaan.

Resminya, bukan kerajaan memang --sungguh tingkah para pemimpin kerap lebih feodal, kalau tidak lebih zalim, dibandingkan dengan seorang monark di jaman sekarang. Bangsa ini pun kurang menyadari bahwa dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang dalam, yakni respublica atau kemaslahatan bersama dalam arti seluas-luasnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Frasa “cinta tanah air” juga mengalami penyimpangan makna. Konsep “patriotisme”, padanannya, seperti terpinggirkan dari kosakata perpolitikan Indonesia, dan sebagai gantinya justru lebih mengemuka konsep “nasionalisme”. Kedua konsep memang sama-sama menggugah sentimen nasional, dan keduanya sama-sama dapat membangkitkan kekuatan dahsyat. Tetapi di balik kesamaan itu ada garis tebal yang memisahkannya.

“Patriotisme” menuntut kebebasan warga negara atas dasar penghormatan hak-hak orang lain, sedangkan “nasionalisme” memuja kebesaran bangsa dan menjunjung tinggi apa yang disebut kepribadian nasional. Musuh masing-masing karenanya juga berbeda.

Musuh patriotisme adalah segala jenis tirani, ketidakadilan, dan korupsi, sementara bagi "nasionalisme” yang dimusuhi adalah pencemaran budaya, ketidakutuhan, serta segala sesuatu yang berbau asing.

Elan “cinta tanah air” dalam arti “patriotisme” itulah yang seharusnya selalu disenandungkan kaum muda, sebagaimana hal itu pernah diperagakan oleh para pejuang kemerdekaan. Tapi jangan salah pahami saya. Menjalankan “tugas patriotik” --meminjam istilah Carlo Rosselli, seorang martir antifasis Italia pada Perang Dunia II--tidaklah berarti dan harus selalu berupa tindakan heroik.

Patriotisme bukanlah “penyerahan” diri kepada tanah air, mengorbankan seluruh hidup bagi Republik. Tindakan yang demikian tidak diperlukan, terkecuali mungkin secara terbatas dalam situasi-situasi genting.

Patriotisme hanya menuntut agar Anda menjadi warga negara yang aktif, warga negara yang selalu peduli terhadap kehidupan bersama, peduli terhadap kemaslahatan bersama.

Ini mengimplikasikan bahwa kita selalu siaga untuk melibatkan diri, dan bukannya
bersikap acuh tak acuh, tatkala ada sesama warga negara yang menjadi korban ketidakadilan atau tindakan diskriminatif, ketika suatu peraturan perundang-undangan
yang reaksioner dipersiapkan atau disahkan, atau ketika pasal-pasal konstitusi dilecehkan.

Tugas-tugas itu sesungguhnya bisa dijalankan, sembari Anda bisa tetap bergembira, belajar, atau bekerja menghidupi keluarga. Pokoknya, Anda tak perlu meninggalkan kehidupan privat masing-masing.

Beberapa waktu lalu, istri saya menerima oleh-oleh dari adiknya yang baru saja berkunjung ke London. Sehelai sarung bantal sofa yang sederhana saja. Pada salah satu sisinya terpampang lambang negara Kerajaan Inggris dan di bawahnya tertera suatu seruan singkat yang tertata rapi. Terus terang saya terperangah dan kagum melihatnya.

Kerajaan Inggris yang dikenal begitu liberal ternyata masih mewarisi aspek tertentu dalam Republikanisme.

Apa bunyi seruan itu? Sebagai penutup tulisan ini saya kutipkan di sini untuk dicamkan oleh kaum muda: “Your Country Needs You” --Negeri Membutuhkan Anda.

Jakarta. 1 Oktober 2012

Rahman Tolleng

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Demo Dukung Palestina di Kampus AS Diberangus Polisi, PM Bangladesh: Sesuai Demokrasi?

4 hari lalu

Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina. ANTARA FOTO/AACC2015
Demo Dukung Palestina di Kampus AS Diberangus Polisi, PM Bangladesh: Sesuai Demokrasi?

Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengkritik pemerintah Amerika Serikat atas penggerebekan terhadap protes mahasiswa pro-Palestina


Presiden Jokowi dalam Sorotan Aksi Hari Buruh Internasional Kemarin

6 hari lalu

Massa aksi Hari Buruh Internasional membakar baliho bergambar Presiden Joko Widodo dan sejumlah pejabat negara lainnya di kawasan Patung Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat pada Rabu, 1 Mei 2024. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Presiden Jokowi dalam Sorotan Aksi Hari Buruh Internasional Kemarin

Aksi Hari Buruh Internasional pada Rabu kemarin menyoroti janji reforma agraria Presiden Jokowi. Selain itu, apa lagi?


Massa Aksi May Day Bakar Baliho Jokowi dan Hakim MK Sebagai Bentuk Kekecewaan

6 hari lalu

Massa aksi Hari Buruh Internasional membakar baliho bergambar Presiden Joko Widodo dan sejumlah pejabat negara lainnya di kawasan Patung Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat pada Rabu, 1 Mei 2024. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Massa Aksi May Day Bakar Baliho Jokowi dan Hakim MK Sebagai Bentuk Kekecewaan

Peserta aksi Hari Buruh Internasional atau May Day membakar baliho bergambar Presiden Jokowi di kawasan Patung Arjuna Wijaya, Jakpus


Dosen Filsafat UGM Sebut Pentingnya Partai Oposisi: Jika Tidak Ada, Maka Demokrasi Tambah Merosot Jauh

7 hari lalu

Dosen Filsafat UGM Sebut Pentingnya Partai Oposisi: Jika Tidak Ada, Maka Demokrasi Tambah Merosot Jauh

Keberadaan partai oposisi sangat penting untuk memberikan pengawasan dan mengontrol jalannya pemerintahan. Ini pendapat dosen filsafat UGM.


Mengenal Fungsi Oposisi dalam Negara Demokrasi

8 hari lalu

Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-jufri (kanan) bersama Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (kedua kanan), Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (kiri) dan mantan capres nomor urut 1 Anies Baswedan (kedua kiri)  berfoto bersama saat milad ke-22 PKS di kantor DPP PKS, Jakarta, Sabtu 27 April 2024. Tasyakuran milad ke-22 PKS tersebut dihadiri sejumlah kader dan ketua umum partai politik. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
Mengenal Fungsi Oposisi dalam Negara Demokrasi

Isu tentang partai yang akan menjadi oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran kian memanas. Kenali fungsi dan peran oposisi.


Penyair Joko Pinurbo Meninggal, akan Dimakamkan di Sleman

10 hari lalu

Penyair Joko Pinurbo membaca puisi di makam Udin di Trirenggo, Bantul. Joko Pinurbo membaca puisi dalam acara ziarah ke makam Udin, bagian dari peringatan 19 tahun meninggalnya Udin yang digagas Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta. TEMPO/ Shinta Maharani
Penyair Joko Pinurbo Meninggal, akan Dimakamkan di Sleman

Penyair Joko Pinurbo meninggal pada usia 61 tahun karena sakit.


Koalisi Prabowo Rangkul PKB dan Partai Nasdem Bahayakan Demokrasi

11 hari lalu

Prabowo-Gibran tengah merangkul rival politiknya dalam pemilihan presiden untuk bergabung ke koalisi Prabowo.
Koalisi Prabowo Rangkul PKB dan Partai Nasdem Bahayakan Demokrasi

Upaya Koalisi Prabowo merangkul rival politiknya dalam pemilihan presiden seperti PKB dan Partai Nasdem, berbahaya bagi demokrasi.


Aktivis HAM Myanmar Dicalonkan Nobel Perdamaian 2024: Penghargaan Ini Tidak Sempurna

16 hari lalu

Maung Zarni. Rohringya.org
Aktivis HAM Myanmar Dicalonkan Nobel Perdamaian 2024: Penghargaan Ini Tidak Sempurna

Maung Zarni, aktivis hak asasi manusia dan pakar genosida asal Myanmar, dinominasikan Hadiah Nobel Perdamaian 2024, oleh penerima Nobel tahun 1976


Dosen Politik Universitas Udayana Sebut 5 Skenario Potensial Putusan Sengketa Pilpres oleh Hakim MK

16 hari lalu

Delapan hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum untuk Pemilihan Presiden 2024 atau PHPU Pilpres di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Senin, 1 April 2024. TEMPO/Amelia Rahima Sari
Dosen Politik Universitas Udayana Sebut 5 Skenario Potensial Putusan Sengketa Pilpres oleh Hakim MK

Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana (Unud) prediksi 5 skenario potensial putusan MK sengketa Pilpres 2024 yang akan di gelar Senin, 22 April 2024


Aktivis Palestina Meninggal karena Kanker, 38 Tahun Mendekam di Penjara Israel

29 hari lalu

Walid Daqqah. Foto: X
Aktivis Palestina Meninggal karena Kanker, 38 Tahun Mendekam di Penjara Israel

Walid Daqqah, seorang novelis dan aktivis Palestina yang menghabiskan 38 tahun di penjara Israel, meninggal pada Minggu karena kanker