TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat terorisme sekaligus Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, mengatakan tidak ada produk manusia yang sempurna, begitu juga Undang-Undang (UU) Terorisme. Sebab, pemberantasan terorisme bukanlah soal penguatan regulasi. Bisa saja UU Terorisme secara substansi baik tapi implementasinya di lapangan berjalan bias.
“Adanya undang-undang baru tidak secara otomatis mampu meminimalkan terorisme secara drastis,” ucap Harits lewat keterangan tertulisnya, Jumat, 25 Mei 2018. Harits adalah pemerhati kontra-terorisme. Ia pernah bergabung dengan Hizbut Tahrir (HT) sejak 1993. Harits juga banyak mengkaji buku-buku HT sejak itu.
Pernyataan Harits tersebut sebagai tanggapan atas pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut dia, DPR dan pemerintah bersepakat memasukkan kata ideologi, motif politik, dan gangguan keamanan dalam definisi terorisme di UU tersebut.
Harits berpendapat, terorisme bisa dipicu oleh sejumlah faktor domestik, seperti kemiskinan, ketidakadilan, keterpinggiran, kondisi politik dan pemerintahan, dan sikap represif rezim yang berkuasa.
Selain dari faktor domestik, ujar Harits, penyebab lain adalah faktor internasional yang berasal dari negara Barat. “Faktor tersebut adalah ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan dari negara-negara kapitalis, imperialisme negara adidaya di dunia Islam, dan standar ganda dari negara superpower,” tuturnya.
Harits mengatakan faktor kebudayaan juga bisa memicu tindak terorisme. Misalnya karena perbedaan dalam menginterpretasikan teks-teks ajaran agama. "Maka, menangani semua faktor tersebut tidak cukup hanya dengan UU,” ucapnya. “Butuh pendekatan yang komprehensif dari hulu sampai hilir dan obyektivitas.”