TEMPO.CO, Jakarta -Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemendikti) mengundang profesor kelas dunia untuk membantu mendongkrak akreditasi perguruan tinggi.
"Bukan dosen asing, tapi profesor kelas dunia. Orang Indonesia pun bisa mengikuti program ini, asalkan dia mengajar di universitas di luar negeri dan mempunyai koneksi dengan peraih Nobel," kata Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti di Jakarta, Selasa, 24 April 2018.
Sempat beredar informasi, pemerintah mengundang dosen asing untuk mengajar di kampus-kampus di tanah air. Ghufron membantahnya. Tapi, kata dia, Kementerian memang mendatangkan para profesor yang berkelas dunia ke tanah air dalam rangkaian program World Class Professor.
Pada tahun sebelumnya, para profesor tadi berada di Indonesia maksimal satu bulan. Mulai tahun ini, keberadaan mereka diperpanjang menjadi dua tahun, bergantung pada permintaan perguruan tinggi berakreditasi B yang mengajukan. "Saat ini sudah ada 70 perguruan tinggi yang mengajukan keinginan untuk mengundang profesor," katanya.
Para profesor bertugas meningkatkan penelitian dan juga menulis jurnal internasional. Selain itu juga, kata Ghufron, para profesor itu diminta untuk mentransfer pengetahuan kepada dosen-dosen di Tanah Air.
Baca juga:
Gaji mereka, kata Ghufron, tergantung pada pengajuan kampus. Kementerian membatasi maksimal gaji bagi para profesor itu US$ 4.000 atau Rp52 juta. "Gajinya bisa mulai dari nol hingga maksimal 4.000 dolar Amerika Serikat," dia mencetuskan.
Keberadaan profesor kelas dunia harus bisa menghasilkan jurnal bereputasi internasional serta dana internasional untuk penelitian. Rencananya tahun ini, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi mendatangkan sebanyak 200 profesor kelas dunia.
Pada tahun sebelumnya, kebanyakan profesor kelas dunia yang hadir ke Indonesia berasal dari Jepang. Menariknya, sejumlah ilmuwan diaspora Indonesia yang sudah meniti karier akademik di luar negeri ikut ambil bagian pada program ini.
"Tahun kemarin terdapat 26 dosen asal Jepang, disusul Amerika, Australia, Malaysia dan Prancis," kata Ghufron. "Sedangkan dari Tiongkok hanya dua orang, sama jumlahnya dengan yang dari Arab Saudi. Saya juga mengapresiasi para ilmuwan diaspora kita yang sangat antusias pada program ini, seperti Saudara Hadi Susanto dan Saudara Oki Muraza, ada beberapa lagi, serta nama perempuan Indonesia tetapi tidak hafal semua namanya."
ANTARA