TEMPO.CO, Yogyakarta -Pengurus Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasan Basri Marwah mengatakan umat Islam tidak perlu membawa puisi ciptaan Sukmawati Soekarnoputri berjudul Ibu Indonesia ke ranah hukum.
"Tidak efektif bersikap reaktif dengan membawanya ke ranah hukum positif," kata Hasan seusai acara ngaji bertajuk Dewa Ruci dengan topik Islam dan Kolonialisme di Indonesia di Pesantren Kaliopak Kleggotan, Srimulyo, Piyungan, Bantul, Selasa malam, 3 April 2018.
Baca Juga:
Menggiring puisi ciptaan Sukmawati ke wilayah hukum, kata Hasan, tidak efektif karena adanya perpecahan. Apalagi saat ini terus bermunculan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam dan semakin mengeras.
Situasi semacam ini, menurut dia, berbahaya bagi semangat kebersamaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasan khawatir polemik puisi Sukmawati bila dibawa ke ranah hukum, bisa menambah perpecahan yang sudah ada.
Tak hanya itu, kata Hasan, polemik puisi Sukmawati bila terus dibiarkan, akan semakin memperuncing anggapan orientalistik. Pandangan orientalistik bicara tentang tidak ada persambungan antara tradisi keislaman dengan nasionalisme. “Pengkotak-kotakan Islam berbahaya di tahun politik,” kata dia.
Hasan menyarankan umat Islam tak reaktif dan bersikap kritis terhadap puisi itu melalui dialog. Dalam tradisi pesantren NU, orang mengenalnya sebagai tabayyun atau menggunakan mekanisme klarifikasi, menunggu pernyataan Sukmawati dan keluarga. “Gunakan jalur kultural. Saya berharap polemik ini cepat reda,” kata dia.
Hasan yang juga merupakan pemerhati budaya lulusan S2 Cultural Studies Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengatakan puisi Sukmawati di satu sisi menggambarkan sikap kritis terhadap formalisasi agama Islam: melawan kelompok yang punya kecenderungan intoleran. Tetapi, di sisi lain puisi itu terlalu menyederhanakan atau simplifikasi terhadap syariat Islam, yang maknanya luas.
Simplifikasi ini memicu reaksi keras dari kelompok-kelompok Islam. Ada juga pandangan kritis dari kelompok intelektual. “Puisi Sukmawati tidak tepat dalam situasi politik identitas yang semakin menguat,” kata Hasan.
SHINTA MAHARANI