TEMPO.CO, Yohyakarta - Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadyah Ahmad Syafii Maarif menilai Indonesia merupakan bangsa yang belum sepenuhnya jadi. Sehingga bangsa ini sering kali diuji dengan berbagai konflik. Mulai dari kepentingan ideologi, kepentingan politik, dan belakangan ancaman pemisahan diri.
"Bangsa ini memang belum jadi, masih dalam proses jadi," ujar pria yang biasa disapa Buya Syafii ini dalam dialog kebangsaan memperingati 54 tahun Ikatan Mahasiswa Muhammadyah di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogya, Selasa 13 Maret 2018. Kegiatan ini dihadiri sekitar 300 mahasiswa itu.
Buya Syafii mengatakan, sebagai sebuah bangsa, usia Indonesia belum genap 100 tahun. Kelahiran Indonesia baru dimulai dari pergumulan, pergolakan, pemikiran intelektual politik di tahun 1920-an. Baik oleh para pemuda Indonesia di Belanda maupun di dalam negeri. Pergumulan itu kemudian mengkerucut dalam sebuah gerakan politik bernama Sumpah Pemuda 1928.
"Karena ini bangsa muda, maka perlu dirawat, kalau perlu juga diruwat," ujar Buya Syafii dalam dialog bertajuk 'Merajut Persaudaraan' itu. Untuk merawat Indonesia yang besar ini, perlu orang dengan pemikiran besar dan berwawasan jauh ke depan. "Tidak bisa merawat Indonesia ini menggunakan pikiran pikiran partisan."
Buya Syafii menambahkan, modal Indonesia sebagai bangsa sudah dimulai sejak abad ke lima. Saat itu bertumbuh kerajaan-kerajaan di pelosok nusantara. Namun kerajaan-kerajaan ini baru menjadi modal dan belum menjadikan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Belanda yang datang sebagai penjajah yang brutal dan diskriminatif ternyata juga menyimpan sisi positif. "Akibat penjajahan Belanda kita 'dipaksa' untuk menjadi sebuah bangsa."
Dengan usia Indonesia yang masih muda itulah sangat wajar jika banyak konflik terjadi dan menjadi ancaman bagi bangsa ini. "Asas keadilan dalam sila ke-lima Pancasila ini belum tampak, masih banyak retak bagi bangsa ini," ujar Syafii Maarif.