TEMPO.CO, Jakarta- Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan bahwa reuni yang dilakukan para Alumni Aksi 212 adalah gerakan politik. Gerakan itu dianggap menjadi arena politik baru dan diprediksi akan terus berlanjut sejalan dengan agenda-agenda politik kenegaraan.
“Perayaan 1 tahun aksi 212 telah menggambarkan secara nyata bahwa aksi yang digagas oleh sejumlah elit Islam politik pada 2016 lalu adalah gerakan politik,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Jumat, 1 Desember 2107.
Baca: Amien Rais Soal Reuni Alumni 212: Jokowi Jangan Khawatir
Hendardi mengatakan bahwa tujuan Alumni 212 menggelar reuni adalah untuk menguasai ruang publik guna menaikan posisi tawar terhadap pemerintah saat ini. Menurut dia, gerakan itu juga tidak memiliki tujuan yang jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional.
Rangkaian reuni Alumni 212 akan berlangsung dari 30 November hingga 2 Desember 2017. Reuni tersebut didahului dengan menggelar Kongres Alumni 212 di Wisma PHI, Jakarta Timur. Usai kongres, acara berikutnya adalah Maulid Agung dan Reuni Alumni 212 di Monas pada Sabtu, 2 Desember 2017.
Baca: Kongres Alumni 212, Buni Yani dan Rizieq Shihab Dapat Penghargaan
Hendardi menyayangkan gerakan politik yang dibangun alumni 212 menggunakan pranata dan instrumen agama Islam. Menurut dia, banyak tokoh-tokoh Islam mainstream yang menganggap gerakan tersebut justru memperburuk kualitas keagamaan di Indonesia.
“Populisme agama sesungguhnya menghilangkan rasionalitas umat dalam beragama, juga menghilangkan rasionalitas warga dalam menjalankan hak politiknya,” kata Hendardi.
Hendardi memprediksi, gerakan 212 secara perlahan akan kehilangan dukungan dari masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena meningkatnya kesadaran warga untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama untuk merengkuh dukungan politik atau menundukkan lawan-lawan politik.
Nantinya, masyarakat dinilai akan sadar bahwa gerakan itu tidak relevan menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan. “Warga juga telah menyadari bahwa gerakan semacam ini membahayakan kohesi sosial bangsa yang majemuk, kecuali untuk kepentingan elit 212,” kata Hendardi.