TEMPO.CO, Jakarta - Potensi konflik pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018 menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Ditambah di tahun berikutnya akan diselenggarakannya pemilihan presiden. Sehingga dalam pilkada 2018 sangat rentan terjadi konflik.
“Potensi konflik pilkada 2018 dengan memperhitungkan pemilihan presiden 2019 harus sangat diperhatikan,” ujar sosiolog Thamrin Amal Tomagalo dalam acara diskusi di Media Center KPU, Jakarta Pusat, pada Selasa, 7 November 2017.
Baca juga: KPU Taksir Anggaran Pilkada Serentak 2018 Rp 10,5 Triliun
Thamrin menambahkan, semenjak pilkada Jakarta, kondisi politik dan masyarakat Indonesia menjadi tidak sehat. Dia khawatir, pada pilkada serentak 2018, hal yang terjadi di pilkada Jakarta diaplikasikan di daerah lain.
“Jika cara yang dilakukan di pilkada Jakarta diaplikasikan di daerah lain, hal ini akan menjadi konflik besar di Indonesia. Karena masyarakat akan terbagi menjadi dua golongan yang berkonflik,” ujar Thamrin.
Ia mencontohkan, dalam penetapan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan, terdapat pihak yang setuju dan tiga partai yang tidak setuju. Ini menggambarkan bahwa dalam pilkada 2018 akan terjadi konflik dan akan berimbas pada pilpres 2019.
“Pihak yang tidak setuju dengan adanya Undang-Undang Ormas dapat dibilang berseberangan dengan nilai kebersamaan, keberagaman, dan toleransi yang diinginkan pemerintahan Jokowi. Dan menurut saya, hal ini akan dimanfaatkan untuk pilkada 2018 dan pilpres 2019,” tutur Thamrin.
Baca juga: Pilkada 2018, Wiranto:Tugas-Keinginan Partai Politik Bertabrakan
Rumah Bebas Konflik (Rubik), mengadakan acara diskusi dengan tema “Potensi Konflik Pilkada Serentak 2018”. Acara tersebut diselenggarakan di Media Center KPU, Jakarta Pusat. Acara ini menghadirkan Direktur Rubik Abdul Ghofur, Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy, sosiolog Thamrin Amal Tomagola, dan peneliti LIPI, R. Siti Zuhro.