TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan meminta Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melakukan efisiensi dalam biaya operasional. Ini dilakukan untuk mengurangi pengeluaran BPJS yang hingga kini neracanya masih tekor.
"Kami sedang mencari titik temu agar defisit BPJS segera diatasi," kata Deputi bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial Kemenko PMK, Tubagus Ahmad Choesni, dalam siaran pers Kemenko PMK, Sabtu, 14 Oktober 2017.
Baca: BPJS Berjanji Tak Kurangi Pelayanan Meski Kembali Defisit
Pemerintah, kata dia, memahami ada masalah dalam pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sisi penerimaan dan pengeluaran tidak seimbang. Namun, Choesni memandang defisit BPJS adalah tanggung jawab bersama, dan penyelesaian defisit harus diawali dengan pembenahan dari sisi BPJS juga. Karena itu, Choesni berharap BPJS bisa lebih efisien dalam menggunakan biaya operasioanal.
"Ada riset bahwa biaya operasional BPJS itu sekitar lima persen. Kami tanya, biaya operasionalnya bisa diturunin atau tidak? Jadi, ada dua hal yang harus kita lakukan, yakni penerima kita genjot dan pengeluaran kita tekan terus," ujar Choesni.
Selain hal itu, Choesni melihat dominasi biaya pelayanan kesehatan saat ini ada pada beban biaya penyakit katastropik, seperti jantung, paru-paru, kanker, cuci darah, hipertensi, yang porsinya yang sebesar 33 persen.
Baca juga: Tiap Tahun Defisit, BPJS Kesehatan Didorong Naikkan Iuran
Untuk menanggulangi katastropik ini dia meminta supaya ada gerakan-gerakan lain dari pemerintah seperti Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS), yang bersama-sama mempromosikan pentingnya kesehatan, supaya penyakit-penyakit seperti katastropik ini tidak terjadi.
Pemerintah sampai saat ini sudah berupaya mengatasi defisit BPJS. Salah satunya memberikan bantuan untuk peserta kelas 3 sebesar Rp. 23 ribu untuk 92.4 juta penduduk yang posisinya berada pada kelompok pendapatan 36 persen terendah. Choesni mengatakan hal ini adalah pemihakan pemerintah bagi peserta kurang mampu.
Selain itu, Kemenko PMK sesuai telah melaksanakan beberapa kali rapat koordinasi tingkat menteri bersama beberapa menteri terkait, misalnya Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan, Menteri Dakam Negeri, Menteri Sosial, Kepala Bappenas, dan lainnya. Ini dilakukan untuk membahas Peraturan Presiden baru yang diprakasai oleh Kemenkes.
"Saat ini kami sedang membahas Perpres pasal per pasal dua pekan dua kali, setiap hari Rabu dan Jumat. Perpres ini saya harap mempunyai implikasi yang besar dan bisa selesai pada tahun 2017 ini," ujar Choesni tanpa merinci pasal-pasal yang dimaksud.
Sebelumnya Kemenko PMK juga telah melakukan rapat tingkat menteri pada Juli lalu. Hasil rapat tersebut memberikan opsi kebijakaan untuk mengalokasikan dana pada APBN-P 2017 sebesar Rp 3,6 triliun. Alokasi ini kebijakan guna pengendalian defisit BPJS Keseharan, antara lain kendali mutu dan kendali biaya, cost sharing, peran Pemerintah Daerah dalam pembiayaan melalui penggunaan pajak rokok, dan mengembalikan BPJS Kesehatan sebagai strategic purchaser.
"Hal yang terpenting sekarang adalah kontribusi pemerintah. Kami akan danai, tapi pemerintah akan melakukan pengawasan. BPJS harus terus menerus meningkatkan efisiensinya dan kualitas pelayanannya," ujar Choesni.