INFO MPR - Indonesia memiliki kemampuan untuk merawat kebhinekaan tanpa meninggalkan karakter, seperti yang terjadi di Myanmar, Palestina, dan Kosovo. Hal itu disebabkan Indonesia memiliki Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid saat menyampaikan orasi kebangsaan "Merawat Kebhinekaan dan Memajukan Pemuda Menuju Indonesia Emas 2045," pada acara Seminar dan Lokakarya Nasional serta Sosialisasi Empat Pilar MPR, di hadapan mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), di Graha Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya (UMTAS), Jawa Barat, Kamis, 12 Oktober 2017. Sosialisasi Empat Pilar MPR yang diselenggarakan MPR bekerja sama dengan DPP IMM ini, dihadiri anggota MPR, Thoriq Hidayat (Fraksi PKS), Rektor UMTAS Ahmad Qonit Ali Daud, Ketua DPP Muhammadiyah Dahlan Rais, dan 200 mahasiswa peserta sosialisasi.
Sosialisasi Empat Pilar MPR adalah tuntutan reformasi dan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) yang memerintahkan Pimpinan MPR menyosialisasikan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, kepada rakyat Indonesia. “MPR sudah melaksanakan sosialisasi ini dengan bebagai metode seperti outbound, lomba cerdas cermat, dan melalui seni budaya asli Indonesia,” ujarnya.
Di hadapan para dosen dan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya, Hidayat menjelaskan agama Islam tidak pernah mendikotomikan antara urusan dunia dan akhirat. “Para ulama pendiri bangsa belajar agama adalah untuk bagaimana mengurus kehidupan berbangsa dan bernegara,” ucapnya.
Dia mencontohkan, dasar negara Pancasila dan seluruh Undang-Undang Dasar dari UUD Tahun 1945 hingga UUD NRI Tahun 1945, yang menyebutkan negara ini berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih lanjut diungkapkan, ketika bangsa ini merdeka pada 17 Agustus 1945, Pancasila yang ada adalah Pancasila yang disepakati pada 22 Juni 1945. “Pancasila itu disepakati oleh Tim 9 dan emppat anggota Tim 9 adalah Abikusno Tjokrosuyoso, Wachid Hasyim, Kahar Muzakir, serta Agus Salim. Mereka adalah dari golongan Islam,” tuturnya.
Dalam Piagam Jakarta tersebut, sila pertama Pancasila mengatakan, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun pada hari selanjutnya, utusan masyarakat Indonesia bagian timur yang beragama non-muslim menemui Mohammad Hatta menyatakan keberatan dengan sila pertama itu. Setelah melakukan lobi-lobi akhirnya keberatan itu diterima, sehingga sila pertama Pancasila bunyinya seperti Pancasila saat ini. “Tokoh-tokoh Islam mengakomodasi keberatan itu. Sila pertama Pancasila yang disepakati selanjutnya akhirnya diterima semua kelompok,” katanya.
Hidayat menegaskan sila pertama Pancasila itu menunjukkan dasar negara menyatakan adanya relasi, hubungan antara negara dan agama. Dikatakan, pendiri bangsa memikirkan bagaimana mempunyai sebuah negara Indonesia merdeka, tetapi juga berjalannya keberagamaan.
Hidayat juga mengungkapkan bangsa Indonesia pernah mengalami sejarah kelam, yaitu terjadinya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan G-30-S/PKI. Setelah PKI berhasil digagalkan upaya pemberontakannya, pada tahun 1966 melalui Sidang MPRS, dibuatlah satu Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di semua wilayah negara republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Lalu, Hidayat mengatakan, tantangan para pemuda sekarang sangat kompleks. "Untuk itu, diharapkan dalam menjaga kebhinekaan ini para pemuda terutama Mahasiswa Muhammadiyah dapat menggunakan cara-cara yang pernah dilakukan para founding fathers dan mothers, yakni Pancasila. Dan kita harus mempelajari Pancasila dari keteladanan para pemimpin,” ujarnya. (*)