Yogyakarta- Praktek percaloan yang menjerat buruh migran Indonesia di desa yang menjadi sentra pekerja migran semakin berkembang. Serikat Buruh Migran Wonosobo, Jawa Tengah menemukan modus baru calo merayu buruh migran. Mereka berpandangan pemerintah tidak mengawasi praktek percaloan itu.
Jawa Tengah selama ini dikenal sebagai provinsi yang banyak mengirim pekerja migran ke sejumlah negara. Ketua Serikat Buruh Migran Wonosobo, Maizidah Salas menyebutkan modus baru praktek percaloan itu adalah calo memberikan uang pinjaman Rp 6 juta untuk keluarga calon buruh migran di desa-desa. “Calo menyasar orang-orang desa dengan kondisi ekonomi buruk. Praktek ini rentan untuk pemerasan calon buruh migran,” kata Maizidah seusai bicara tentang kebijakan reintegrasi dan gerakan pemberdayaan Tenaga Kerja Indonesia Purna.
Ia diundang Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Senin, 25 September 2017. Maizidah merupakan korban human trafficking. Ia pernah bekerja sebagai buruh migran di Taiwan tahun 2001-2007. Koordinator Jaringan Buruh Migran Jawa Tengah itu dieksploitasi oleh majikannya. Gajinya tidak dibayar dan tidak pernah libur.
Serikat Buruh Migran Wonosobo, kata Maizidah sedang mengadvokasi buruh migran yang mengalami pemerasan akibat praktek percaloan itu. Buruh migran itu bekerja di Malaysia. Dianggap tidak bisa bekerja, ia dimintai ganti rugi sebesar Rp 50 juta oleh PPTKIS. Selain kasus itu, mereka juga sedang mendampingi buruh migran yang menjadi korban perdagangan manusia.
Calo yang menyasar buruh migran di perdesaan itu, kata dia bekerja pada Pelaksana Penempatan TKI Swasta atau PPTKIS. Selain uang pinjaman, iming-iming lain yang biasa ditawarkan adalah uang saku dengan besaran Rp 2-3 juta untuk setiap calon buruh migran. Ada pula pinjaman dengan skema kredit usaha rakyat yang ditawarkan PPTKIS. Para calo itu biasanya merupakan tetangga calon buruh migran. “Aktornya banyak. Ada banyak tangan yang menjalankan praktek itu. Pemerintah tidak mencegahnya,” kata dia.
Setelah mereka berangkat bekerja ke negara tujuan, buruh migran itu dipotong gajinya dengan alasan telah menerima uang saku dan pinjaman. Para buruh migran itu rata-rata dipotong gaji 5-6 bulan. Padahal, aturan potong gaji di negara penempatan pekerja migran, misalnya di Singapura adalah satu bulan gaji.
Dia mengatakan di Wonosobo setidaknya terdapat delapan PPTKIS yang memiliki penampungan maupun balai latihan kerja. Jumlah PPTKIS ini menurun setelah ada verifikasi dari pemerintah. Semula berjumlah 48 menjadi delapan setelah Serikat Buruh Migran aktif meminta pemerintah memverifikasi PPTKIS.
Maizidah menyebut pemerintah kurang memperhatikan aspek perlindungan terhadap buruh migran. Di desa-desa, buruh migran rata-rata menyerahkan pengurusan dokumen kepada para calo. Mereka tidak tahu bagaimana cara mengurus dokumen sesuai prosedur dan bekerja secara aman. “Informasi tentang migrasi dikuasai PPTKIS. Tak ada posko pengaduan bila terjadi masalah di desa-desa,” kata dia.
Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Daerah Istimewa Yogyakarta, AB.Rokhman mengatakan pemerintah saat ini punya kebijakan terintegrasi untuk buruh migran, yakni memilih negara yang aman dan sektor pekerjaan yang baik. Dia mencontohkan sektor pekerjaan itu jasa konstruksi di Malaysia, pengecoran besi. “Untuk sektor pekerja rumah tangga dihentikan untuk mengurangi TKI ilegal,” kata Rokhman.
Untuk menyelesaikan persoalan buruh migran, pemerintah kata dia menggunakan pendekatan program government to governme
Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM, Suzanna Eddyono, mengatakan pemerintah menempatkan buruh migran pada pekerjaan dengan upah rendah. Misalnya pekerjaan mengurus orang tua, pekerjaan mengurus anak, dan pekerjaan domestik lainnya. Pekerjaan-pekerjaan ini penuh risiko dengan jam kerja yang tidak dibatasi. Buruh migran juga rentan mengalami kekerasan.
Mayoritas pekerja migran Indonesia berpendidikan rendah, yakni dengan urutan terbanyak lulusan sekolah menengah pertama, sekolah dasar, dan sekolah menengah atas. “Hak-hak buruh migran kerap diabaikan. Seharusnya pemerintah memikirkan soal pendidikan dan keterampilan buruh migran,” kata Suzanna.
Ia juga menyoroti pemberdayaan buruh migran setelah mereka kembali ke Indonesia. Pemerintah perlu memikirkan sektor atau lapangan kerja seperti apa yang mereka perlukan, siapa saja yang mendapatkan peluang, dan apakah perempuan buruh migran telah mendapatkan kesempatan.
SHINTA MAHARANI
TEMPO.CO, Jakarta -