PPP Persoalkan Surat DPR ke KPK yang Diteken Fadli Zon
Reporter
Editor
Jumat, 15 September 2017 16:21 WIB
Ketua Umum PPP terpilih, Romahurmuziy bersiap menyampaikan pidato politik saat penutupan Muktamar VIII PPP 2016 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, 10 April 2016. ANTARA/M Agung Rajasa
TEMPO.CO, Yogyakarta-Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Romahurmuziy atau Romy menilai surat permintaan penundaan pemeriksaan Setya Novanto ke KPK yang diteken Wakil Ketua DPR Fadli Zon bukan mewakili institusi. Sebab, kata dia, masalah surat itu tidak pernah dibicarakan oleh fraksi-fraksi maupun di tingkat pimpinan.
Menurut Romahurmuziy permintaan penundaan pemeriksaan itu justru mengganggu penegakan hukum di Indonesia. "Fraksi Partai Persatuan Pembangunan keberatan apabila hal itu diatasnamakan institusi DPR," kata Romy usai mengisi kuliah umum di Universitas Gadjah Mada, Jumat, 15 September 2017.
Jika pengajuan penundaan pemeriksaan Setya itu dengan alasan membela rakyat, Romy mempertanyakan berapa surat yang diajukan oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon untuk permintaan yang sama. "(Surat) ini punya konsekuensi serius. Kami akan pertanyakan kepada Pak Fadli melalui wakil kami di Mahkamah Kehormatan Dewan, kecuali dia menyatakan atas nama pribadi. Tetapi kalau suratnya berkop DPR, itu hal lain," kata Romy.
Soal dugaan adanya pelanggaran kode etik Dewan oleh Fadli Zon, ia menyatakan yang berhak menentukan adalah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Yang jelas, kata Romy Fraksi PPP akan menyampaikan surat keberatan secara resmi melalui MKD.
Saat ditanyakan apakah munculnya surat itu merupakan tindakan menghalangi penyidikan oleh KPK, Romy menyatakan secara faktual memang begitu. Kalaupun itu tidak menghalangi, tetap saja ada permintaan penundaan penegakan hukum oleh KPK.
"Kalau itu terjadi, maka akan menjadi preseden. Berapa banyak komponen rakyat Indonesia orang yang akan diperiksa meminta hal yang sama, maka proses penegakan hukum di Indonesia akan terganggu," kata Romy.
Peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Hifdzil Alim berujar permintaan penundaan pemeriksaan tersangka korupsi itu merupakan bentuk absolutisme legislatif. Sebab, kata dia, awalnya DPR selalu minta penegakan hukum sesuai dengan hukum, apalagi mereka yang membuat hukum itu melalui undang-undang.
"Sekarang giliran ada yang menegakkan hukum dan kebetulan yang jadi tersangka itu dari legislatif, mereka minta ditunda. Bukankah ini sebuah abosolutisme legislatif. Yaitu sikap sewenang-wenang legislatif yang tidak mau menaati aturan yang dibuatnya sendiri," kata dia.
Pakar hukum UGM Zainal Arifin Mochtar menilai putusan MK yang akhirnya memenangkan pasangan nomor urut 02 Prabowo-Gibran telah menyisakan pekerjaan rumah cukup berat.