ICW: Ada Penggelembungan Tagihan Rumah Sakit ke BPJS
Reporter
Editor
Jumat, 15 September 2017 01:31 WIB
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani memimpin rapat koordinasi tingkat menteri terkait pengendalian defisit keuangan BPJS Kesehatan di kantornya, Rabu, 21 Juni 2017. TEMPO/Angelina Anjar Sawitri
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch mengungkapkan adanya potensi kecurangan dalam pembayaran klaim penagihan rumah sakit pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Koordinator Divisi Investigasi ICW Febri Hendri mengatakan tren kecurangan ini meningkat seiring dengan besarnya dana yang dikelola BPJS.
Pada 2016 misalnya, dari dana sebesar Rp56 triliun, sebanyak Rp46 triliun untuk pembayaran klaim rumah sakit, dan Rp10 triliun untuk kapitasi. Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama berdasarkan jumlah Peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Febri mengatakan penggelembungan klaim tagihan dari rumah sakit ke BPJS rentan terjadi sebab BPJS belum memiliki sistem untuk memverifikasi klaim-klaim tersebut. Ia mencontohkan, dalam dokumen penagihan pasien menemukan bahwa klaim rumah sakit ke BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan fasilitas, perawatan, atau pengobatan yang diterima ketika dirawat.
Masalahnya, lanjut Febri, tim verifikator BPJS Kesehatan di rumah sakit tidak selalu melakukan pengecekan terhadap pasien. "Hanya sekitar satu persen dari total klaim itu mereka verifikasi langsung ke pasien. Kami tanya ada berapa banyak pending klaim oleh BPJS ke rumah sakit? Tidak banyak, paling tidak lebih dua persen," kata ujar Febri usai konferensi pers ICW mengenai temuan kecurangan dalam penyelenggaran program Jaminan Kesehatan Nasional, Kamis, 14 September 2017.
Mengingat potensi kecurangan demikian besar, Febri mengatakan perlunya meningkatkan pengawasan dalam pelaksanaan program JKN ini, terutama yang menyangkut pembayaran bantuan iuran (PBI) oleh pemerintah. Pengawasan dan penguatan sistem terutama harus dilakukan di dalam BPJS sebagai lembaga publik yang diatur undang-undang.
"Yang berhak memeriksa adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan, terutama terkait dengan PBI, dan pengawas internal BPJS," ujar Febri.
Febri menekankan bahwa dokumen klaim yang ditagihkan dan sudah dibayarkan harus dibuka ke publik. Ia mengatakan ICW akan mendorong pemerintah dan BPJS untuk membuat regulasi terkait. Pasalnya, ICW belum menemukan bukti kecurangan lantaran tidak memiliki akses terhadap dokumen klaim tagihan rumah sakit ke BPJS.
Selama ini, ICW bekerja dengan metode riset partisipatif berupa pendampingan terhadap masyarakat. Dugaan kecurangan diperoleh ICW dari cerita masyarakat yang didampingi tersebut. "Itu informasi publik. Kecuali rekam medis yang dirahasiakan," ujar dia.