Tokoh 17 Agustus: Ratih Pangestuti, Mengail Obat dari Lautan
Editor
Nunuy nurhayatiTNR
Sabtu, 19 Agustus 2017 08:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketekunan Ratih Pangestuti, tokoh 17 Agustus di bidang kesehatan pilihan Koran Tempo, menggeluti bidang bioteknologi kelautan berbuah sukses. Doktor biokimia kelautan dari Pukyong National University, Korea Selatan, ini berhasil menemukan potensi kuda laut sebagai obat alzheimer dan mematenkannya.
Baca: Tokoh 17 Agustus: Mimpi Rafi Ridwan di Panggung Fesyen Dunia
“Sumber daya laut masih jarang dimanfaatkan. Padahal lebih dari 70 persen wilayah Indonesia adalah lautan,” kata Ratih mengungkapkan alasannya tertarik pada penelitian kelautan. Selain itu, organisme laut sangat unik karena mampu hidup dalam lingkungan ekstrem. “Mereka harus beradaptasi supaya bisa hidup, disertai modifikasi jalur metabolisme untuk menyintesis material fungsional.”
Material fungsional, menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini, berpotensi untuk dimanfaatkan dalam bidang pangan, farmasi, dan kosmetik. Jika bioteknologi kelautan bisa dikembangkan dengan baik, dapat tercipta beragam produk inovatif, publikasi, paten, dan bioenergi dengan nilai puluhan miliar dolar. “Dengan memanfaatkan biota laut, saya ingin Indonesia tidak hanya menjadi penonton di rumah sendiri,” tutur perempuan 33 tahun ini, pekan lalu.
Salah satu bukti kegigihannya adalah paten dari Amerika Serikat bernomor US20140094414 A1 dengan judul Composition for preventing or treating neurodegenerative disease including bioactive peptide as effective component tahun 2015. Dia bekerja selama empat tahun untuk meneliti aktivitas neuroprotektif dari kuda laut.
Dia menceritakan, kuda laut dihidrolisis lalu dipurifikasi untuk menghasilkan bioaktif peptida. Bioaktif peptida dari kuda laut ini ternyata mampu menurunkan peradangan pada mikroglia (sel imun pada sistem saraf pusat) dan menghambat kematian sel saraf cholinergic. Dengan kata lain, berpotensi menangkal penyakit alzheimer.
Meski demikian, menurut Ratih, risetnya ini baru sampai tahap uji praklinis. Dengan demikian, masih perlu bermacam-macam riset lanjutan untuk dikembangkan menjadi obat. “Butuh proses yang panjang, di antaranya uji klinis,” kata peraih penghargaan LIPI Young Scientist Award 2015 ini.
Uji klinis sangat menentukan karena tak jarang kandidat obat gagal melewati uji klinis tahap 1, 2, 3, atau 4.
Selain meneliti potensi kuda laut sebagai bakal calon obat, dia melakukan riset terhadap teripang, rumput laut, bakau, lamun, dan mikroalga. Dia mengatakan selama ini berupaya menemukan bibit bahan baku obat yang potensial sebagai antibiotik atau pengobatan penyakit degeneratif. “Meskipun tidak semua yang kami saring aktif, namun sebagian besar organisme laut menunjukkan aktivitas biologis,” tuturnya.
Misalkan, kata dia, rumput laut cokelat Padina sp yang menunjukkan aktivitas antikanker yang potensial. Lalu ada juga mikroalga jenis Porphyridum sp yang menunjukkan aktivitas antioksidan yang kuat. Hal ini semakin menguatkan dugaannya bahwa organisme laut potensial untuk dikembangkan sebagai obat.
Sayangnya, semangat Ratih yang menggebu-gebu untuk menemukan obat dari organisme laut kerap bertabrakan dengan minimnya kucuran dana untuk penelitian dan inovasi. Belum lagi dia mesti berhadapan dengan terbatasnya peralatan dan proses pemesanan barang kimia yang lama.
“Saat di luar negeri, barang penelitian yang saya pesan cepat sampai, tapi di Indonesia bisa sampai berbulan-bulan,” kata dia. Itu pun masih dibebani pajak yang tinggi.
Sebagai peneliti bioteknologi kelautan, dia berharap Indonesia setara dengan negara maju seperti Belanda atau Inggris dalam inovasi kesehatan pada 2045. Tentu saja, mimpi ini memerlukan iklim penelitian yang baik agar terwujud. Selain itu, dia berharap Indonesia mampu mengelola kekayaan laut secara baik untuk kepentingan kesehatan. “Menghasilkan inovasi yang bisa meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup masyarakat,” ucapnya.
Ketua Terpilih Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Daeng M. Faqih, mengatakan Indonesia masih belum bisa membuat bahan baku obat. “Obat kita mahal karena bahan bakunya masih impor,” kata dia.
Simak: Tokoh 17 Agustus: Dua Srikandi Mendaki Tujuh Puncak Dunia
Karena itu, menurut Daeng, apa yang dikerjakan Ratih saat ini merupakan pekerjaan berharga untuk Indonesia pada masa mendatang. Dia menuturkan, dengan mencari bahan baku obat dari laut, Ratih telah berupaya memanfaatkan kekayaan negara sendiri yang cenderung dapat diperbarui. “Jika dia berhasil menemukannya, Indonesia tak perlu lagi impor dan harga obat tak semahal saat ini.”
Daeng berharap karya Ratih dapat menjadi pemicu munculnya ilmuwan-ilmuwan baru di bidang bioteknologi kelautan. “Kalau penelitian Ratih berhasil sampai menjadi produk obat, dia adalah seorang pionir. Bukan tidak mungkin ke depan Indonesia akan menjadi produsen obat dan rujukan dunia.
Simak artikel Tokoh 17 Agustus lainnya hanya di Tempo.co.
TIM TEMPO