Menteri Dalam, Negeri Tjahjo Kumolo, bersama Ketua Pansus RUU Pemilu, Lukman Edy (F-PKB), memberi penjelasan tentang pembahasan isu-isu krusial dalam RUU Pemilu yang masih alot. Pemerintah dan DPR berharap isu-isu tersebut dapat diputuskan secara musyawarah. Jakarta, 14 Juni 2017. TEMPO/Ahmad Faiz
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menilai kritik presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilu tidak beralasan. Sebab, angka ambang batas pencalonan presiden dalam UU Pemilu yang baru disahkan telah berlaku sejak dua kali pilpres sebelumnya.
"Sudah dua periode, dua tahapan pilpres diikuti enggak ada yang protes. Kok sekarang dibahas, kenapa?" kata Tjahjo saat ditemui di Taman Mini Indonesia Indah, Sabtu, 29 Juli 2017. Apalagi, ketentuan presidential threshold sudah diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat melalui pengesahan dalam sidang paripurna.
Dalam UU Pemilu, presidential threshold ditetapkan 20 persen kursi DPR atau 25 suara sah nasional. Ketentuan ini telah dua kali digunakan, yakni pada pilpres 2009 dan 2014.
Namun, sejumlah fraksi di DPR menolak ketentuan ini saat pembahasan berlangsung. Mereka menilai ketentuan itu tidak relevan karena Pemilu 2019 akan berlangsung secara serentak, yakni pemilihan presiden sekaligus pemilihan anggota legislatif.
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengkritik presidential threshold sebesar 20 persen. "Presidential threshold adalah sesuatu lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia," kata Prabowo.
Dia mengatakan itu saat melakukan pertemuan dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas pada Kamis, 27 Juli 2017. "Saya tidak mau terlibat demikian," ujar Prabowo melanjutkan.
Dalam rapat paripurna pengesahan UU Pemilu beberapa waktu lalu, sejumlah fraksi yang menolak ketentuan presidential threshold melakukan aksi walk out. Mereka adakah Fraksi Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN.
Tjahjo mengatakan bila ada warga negara yang keberatan dengan aturan presidential threshold, ada mekanisme yang bisa digunakan, yaitu gugatan uji materi di Mahkamah Konstitusi.
"Kalau enggak puas ada MK, silakan," kata Tjahjo Kumolo soal UU Pemilu itu. Dia menambahkan, yang berhak memutuskan sebuah UU atau aturan melanggar konstitusi atau tidak adalah MK, bukan partai politik maupun DPR.