Menkopolhukam Wiranto (kanan) bersama Menkumham Yasonna Laoly (tengah), memberikan keterangan kepada awak media, di kantor Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Jakarta Pusat, 8 Mei 2017. Pemerintah mengatakan bahwa HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta membahayakan keutuhan NKRI. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menyebutkan sejumlah pertimbangan yang mendorong pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017. Dia menekankan bahwa UU nomor 12 tahun 2013 tentang Ormas tak lagi memadai kebutuhan masyarakat, sehingga memerlukan Perppu.
Yang pertama, kata Wiranto, penerbitan Perppu sudah sesuai hak dan kewenangan pemerintah, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 139/PUU-VII/2019. Dalam keputusan itu, presiden berhak menelurkan perppu dalam situasi mendesak.
UU ormas, kata Wiranto, belum mengandung asas Contrario Actus, di mana lembaga negara yang menerbitkan izin tata usaha negara seharusnya juga berwenang membatalkannya.
Pengertian tentang ajaran yang berseberangan dengan dasar negara juga masih dirumuskan secara sempit. "Yaitu hanya terbatas pada Atheisme, Marxisme, dan Leninisme, padahal sejarah Indonesia membuktikan bahwa ajaran lain juga bisa menggantikan dan bertentangan dengan Pancasila."
Pertimbangan ketiga adalah perlunya pembuatan perppu karena butuhnya durasi panjang dalam menyusun UU baru. "Sementara kondisinya harus segera diselesaikan. Kalau menunggu undang-undang yang baru tidak bisa, harus segera diselesaikan," kata Wiranto.
Perppu 2/2017 ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017 laku. Penyusunan Perppu tersebut sempat erat dikaitkan dengan upaya pemerintah membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia.