Terdakwa kasus dugaan suap judicial review di Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar sebelum mengikuti sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan atas dirinya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 13 Juni 2017. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, meminta agar statusnya dijadikan tahanan kota. Permintaan itu ia sampaikan saat menjadi saksi untuk terdakwa pengusaha Basuki Hariman dan Ng Fenny di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, hari ini, Senin, 3 Juli 2017. “Saya ajukan jaminan istri dan anak saya,” katanya.
Patrialis merasa telah dizalimi dengan penegakan hukum. Ia mengungkit soal keterlibatannya dulu dalam pembuatan Undang-Undang Tipikor. Selain itu, ia mengklaim turut mendukung upaya pemberantasan korupsi dengan melarang semua orang membicarakan soal uang dengannya.
Dalam persidangan itu, ia kerap menyebut "masya Allah". “Undang-Undang Tipikor, saya ikut tanda tangan. Saya di dalam sana. Masya Allah, mereka tidak melihat itu,” ucapnya.
Hingga saat ini, Patrialis Akbar masih merasa bingung mengapa dirinya terkena operasi tangkap tangan. Ia mengklaim tidak pernah menerima uang. Ia juga merasa heran dengan pemberitaan yang menyebutkannya ditangkap tangan oleh KPK bersama seorang wanita. "Saya tidak mengerti kenapa saya di-OTT," tuturnya.
Saat memberikan kesaksian dalam sidang hari ini, Patrialis menjelaskan soal pertemuannya dengan bos CV Sumber Laut Perkasa, Basuki Hariman. Patrialis mengaku sejak semula merasa Basuki tidak mempunyai kepentingan tertentu sehingga ia berkawan dengannya dan bertemu hingga sedikitnya lima kali. Ia berdalih sudah berkomitmen tidak akan membicarakan uang dengan Basuki.
Meski semula Patrialis merasa Basuki tidak punya kepentingan, tapi belakangan Basuki berulang kali menanyakan gugatan uji materi di MK perihal Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
KPK menduga kuat ada dugaan suap dari Basuki kepada Patrialis Akbar untuk mempengaruhi putusan gugatan tersebut. Mantan hakim MK itu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga menerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar US$ 20 ribu dan 200 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp 2,1 miliar.