Miryam S Haryani usai diperiksa KPK memberikan sedikit penjelasan bahwa dirinya tidak kabur tapi berlibur bersama keluarga. EKO SISWONO TOYUDHO
TEMPO.CO, Jakarta - KPK menggeledah rumah anggota Komisi II dari fraksi Partai Golkar Markus Nari dalam penyidikan kasus memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara proyek KTP elektronik (E-KTP) untuk tersangka Miryam S Haryani.
"Pada tanggal 10 Mei 2017, penyidik menggeledah dua rumah milik Markus Nari (Anggota DPR) terkait penyidikan tersangka MSH," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu 31 Mei 2017.
Dua rumah itu adalah rumah pribadi Markus di daerah Pancoran, Jakarta Selatan dan rumah dinas di kompleks perumahan anggota DPR Kalibata, Jakarta Selatan. Dari lokasi, kata Febri, penyidik menemukan dan menyita copy BAP atas nama Markus Nari dan barang bukti elektronik berupa HP dan USB. (Baca:Proyek E-KTP, Cerita Paulus Tannos Dua Kali Bertemu Setya Novanto)
Markus Nari adalah salah satu anggota DPR yang disebut dalam dakwaan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto dalam kasus dugaan korupsi pengadaan KTP-E 2010-2012.
Dalam dakwaan disebutkan guna memperlancar pembahasan APBN-P tahun 2012 tersebut, sekitar pertengahan Maret 2012 Irman dimintai uang Rp5 miliar oleh Markus Nari selaku anggota Komisi II DPR.
Untuk memenuhi permintaan tersebut, Irman memerintahkan Suharto meminta uang tersebut kepada Direktur Utama PT Quadra Solution Anang S Sudiharjo yang merupakan anggota konsorsium PNRI. (Baca:Setelah Miryam, Saksi E-KTP Ini Juga Sangkal Keterangan di BAP )
Atas permintaan itu, Anang hanya memenuhi Rp4 miliar yang diserahkan kepada Sugiharto di ruang kerjanya. Selanjutnya Sugiharto menyerahkan uang tersebut kepada Markus Nari di restoran Bebek Senayan, Jakarta Selatan. Namun dalam sidang 6 April 2017 lalu, Markus yang menjadi saksi dalam sidang membantah hal tersebut.
Miryam disangkakan melanggar pasal 22 jo pasal 35 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta. (Baca:Bambang Widjojanto: Ada 3 Poin Penting Setelah Miryam Ditangkap)
Dalam persidangan pada Kamis 23 Maret 2017 di Pengadilan Tipikor Jakarta diketahui Miryam S Haryani mengaku diancam saat diperiksa penyidik terkait proyek kasus KTP Elektronik (E-KTP). "BAP isinya tidak benar semua karena saya diancam oleh penyidik sebanyak tiga orang, diancam pakai kata-kata," kata Miryam sambil menangis.