TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan perempuan rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual di tempat kerja. Beberapa sektor mata pencaharian yang dinilai sangat rawan pelecehan yakni buruh pabrik dan buruh perkebunan, pelayan di kapal laut dan pramugrari pesawat terbang, serta industri hiburan.
"Dalam catatan saya mengikuti isu perburuhan, pelecehan seksual tidak sedikit bahkan dianggap sebuah kelaziman di pabrik-pabrik," ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah dalam peluncuran film "Angka Jadi Suara" di Erasmus Huis, Jakarta, Senin 15 Mei 2017. (Baca:Yohana: Perlindungan Perempuan di Indonesia Diapresiasi OKI)
Kekerasan yang dialami para pelayan di kapal, kata Yuniyanti, sulit diproses hukum. Sebab sebagian besar dilakukan oleh warga negara asing yang tidak bisa dengan mudah dijerat dengan hukum Indonesia.
Sementara pramugari, yang seringkali dinilai sebagai profesi "mentereng" dan nyaman, justru sangat dituntut untuk selalu tampil prima dengan selalu merawat kulit dan tubuh. Selain terancam pembatasan usia kerja, gerak-gerik pramugari yang senantiasa dipantau juga menghambat mereka menjalani hidup secara bebas dan utuh.
"Para pramugari itu di-grounded (tidak boleh terbang) kalau tubuhnya gendut atau wajahnya berjerawat," ujar Yuniyanti.
Melihat semakin beragamnya pola-pola kekerasan seksual terhadap perempuan, Komnas Perempuan menilai salah satu solusi paling efektif untuk menekan praktik-praktik kejahatan yang seringkali tidak disadari baik oleh korban dan pelaku yakni dengan segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017 itu antara lain mengatur tentang perluasan definisi kekerasan seksual yang sebelumnya hanya tiga yang diakui di Indonesia yakni pemerkosaan, pelecehan seksual, dan pencabulan terhadap anak.
Padahal, kata Yuniyanti, jenis kekerasan seksual minimal ada 15. Di antaranya perbudakan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, perusakan genital perempuan, dan perkawinan anak. Di dalam RUU tersebut juga diatur pemberatan hukuman bagi kasus kekerasan seksual yang dialami oleh orang dengan disabilitas dengan pertimbangan bahwa korban mengalami lapisan-lapisan persoalan yang berkaitan dengan keterbatasan dan kesulitan memberi kesaksian. (Baca:Dewan Pers Siapkan Pedoman Peliputan Kekerasan Seksual)
Namun, Yuniyanti menegaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan melahirkan bentuk hukuman-hukuman yang manusiawi dan sesuai dengan hak asasi manusia. "Walaupun kita marah dengan kejahatan seksual tetapi kita tetap menentang hukuman mati karena itu tidak menyelesaikan persoalan dan tidak otomatis memberi efek jera," tuturnya.
Setelah disetujui oleh Badan Legislasi DPR RI pada Januari 2017 lalu, RUU tersebut akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi usul inisiatif DPR. Komnas Perempuan mencatat dalam rentang 2012-2015, rata-rata 3.000-6.500 kasus kekerasan seksual terjadi setiap tahun dalam ranah personal, rumah tangga, maupun komunitas.