Setara: Kasus Penistaan Agama Meningkat karena Faktor Politik
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat tnr
Jumat, 12 Mei 2017 04:57 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute mencatat dari 1965 sampai 2017, ada 97 kasus penistaan agama yang terjadi di Indonesia. Uniknya, lebih dari separuhnya terjadi di masa seusai reformasi dengan kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai yang terbaru.
"Menariknya, di saat informasi lebih terbuka, kasus penistaan agama malah semakin banyak, " ujar peneliti Setara Institute, Halili, ketika memaparkan hasil penelitiannya, Kamis, 11 Mei 2017. Lebih rincinya, kata Halili, sembilan kasus penistaan agama terjadi di masa sebelum reformasi. Sementara itu, 88 sisanya terjadi seusai reformasi.
Baca: Setara: Kasus Penodaan Agama Tumbuh dari Pemaksaan Pemahaman
Halili melanjutkan, 88 kasus tersebut terdiri atas berbagai jenis. Beberapa jenis perkara yang dominan adalah polemik pemahaman keagamaan, polemik kebebasan berpendapat dan berekspresi, dan polemik gerakan keagamaan baru.
Secara terpisah, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani menyampaikan meningkatnya kasus penistaan agama pasca-reformasi disebabkan oleh faktor politik. Lebih jelasnya, karena iklim politik makin longgar akibat reformasi, kelompok-kelompok tertentu menjadikan unsur penistaan agama untuk mencapai kepentingan politiknya.
Baca: Vonis Ahok, Hidayat Nur Wahid Tolak Pasal Penistaan Agama Dihapus
"Dalam catatan kami, ada desain politik penyeragaman atas nama agama. Dan, kemudian, isu-isu semacam itu dijadikan alat penundukan," ujar Ismail.
Ismail menambahkan, kasus penistaan agama juga meningkat karena agama dianggap unsur yang paling mudah digunakan untuk membangun kekuatan baru. Kasus yang berkaitan dengan agama, kata dia, dianggap sejumlah pemilik kepentingan politik lebih menarik bagi publik dibandingkan dengan hal konvensional.
"Kasus agama jadi digunakan untuk mempengaruhi publik serta meraih kapital," ujarnya.
Di Indonesia, unsur penistaan agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 serta Pasal 156a KUHP. Pasal 156a KUHP, misalnya, menyatakan barang siapa di muka umum menyatakan ucapan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana. Pidananya adalah penjara paling lama empat tahun.
ISTMAN M.P.