Mbah Gotho, Manusia Tertua di Dunia Asal Sragen, Meninggal
Editor
Rina Widisatuti
Senin, 1 Mei 2017 14:48 WIB
TEMPO.CO, Sragen - Sodimejo alias Mbah Gotho, warga Dusun Segeran, Desa Cemeng, Kecamatan Sambungmacan, Kabupaten Sragen, yang diklaim sebagai manusia tertua di dunia, meninggal di rumahnya pada Ahad, 30 April 2017.
Pria yang diperkirakan usianya 146 tahun dimakamkan di tempat pemakaman umum Tanggung di Dusun Grasak, Desa Plumbon, Kecamatan Sambungmacan, sekitar 400 meter dari rumahnya pada Senin siang, 1 Mei 2017. Mbah Gotho dimakamkan dengan tata cara Kristen.
Baca: Kisah Mbak Gotho, Berumur 145 Tahun dan Sains di Baliknya
“Sebelum meninggal, Simbah berpesan agar dimakamkan dengan tata cara agama Kristen,” kata cucu Mbah Gotho dari istri keempat, Suryanto, saat ditemui di sela upacara pemakaman. Adapun Suryanto dan sejumlah cucu Mbah Gotho yang lain beragama Islam.
Dalam kartu identitasnya tertulis tanggal lahir Mbah Gotho 31 Desember 1870. Namun, kepastian umur Mbah Gotho hingga kini belum bisa dikonfirmasi. Pada September 2016, Tempo pernah menanyakan akta kelahiran Mbah Gotho dari masa kolonial Belanda (Registreer een Geboortearte) di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Sragen.
“Akta kelahiran tertua di sini tahun 1950-an,” kata Kepala Seksi Sistem Teknologi Informasi Disdukcapil Sragen, Dani Wahyu Setiawan. Menurut dia, Disdukcapil sudah berpindah kantor sebanyak tiga kali. Jika memang ada arsip peninggalan Belanda, arsip tersebut diduga tercecer atau hilang saat proses perpindahan kantor.
Baca: Orang Tertua di Dunia Asal Sragen, Mbah Gotho, Masuk Rumah Sakit
Sekitar sebulan sebelum meninggal, Suryanto mengatakan, Mbah Gotho mulai sulit dibujuk untuk makan dan minum. “Simbah beralasan perutnya sudah terasa kenyang. Bahkan air yang saya teteskan ke mulutnya juga langsung diusap,” kata Suryanto.
Lantaran kondisinya terus melemah, pada 12 April 2017, Mbah Gotho dilarikan ke RSUD Dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Setelah lima hari diopname, pada 17 April 2017, Mbah Gotho meminta pulang meski pihak RSUD Sragen sebenarnya belum mengizinkan. “Simbah marah-marah karena sepanjang hidupnya baru kali itu beliau dirawat di rumah sakit dan disuntik,” ujar Suryanto.
Menurut keterangan pihak RSUD Sragen, Suryanto menambahkan, Mbah Gotho sakit lambung karena jarang makan dan minum. Meski sudah di rumah, Mbah Gotho masih sulit dibujuk makan. “Kalaupun mau makan cuma sedikit dan disuapi,” kata Suryanto.
Bagi Mbah Gotho, kematian bukanlah hal yang menakutkan. Justru sebaliknya, kematian adalah satu-satunya hal yang dia rindukan sejak lama. Pada 1992, setelah anak kedua dari istri keempatnya, Sukirah, meninggal dunia, Mbah Gotho sudah memesan nisan bertuliskan namanya.
“Sukirah itu ibu saya, meninggal pada usia sekitar 60 tahun,” kata Suryanto. Selain nisan, Mbah Gotho juga telah menyiapkan seperangkat pakaian, mulai dari baju putih, jas hitam, celana panjang, hingga sepatu yang akan dikenakannya saat meninggal.
“Simbah juga telah membeli kayu untuk peti matinya. Tapi kayu itu belum sempat dibuat peti. Peti yang sekarang ini kami beli,” kata Suryanto. Saat dibacakan riwayat singkat Mbah Gotho dalam prosesi pemakamannya, disebutkan Mbah Gotho beristri empat, lima anak, 25 cucu, 17 cicit (buyut), dan 12 canggah (keturunan kelima atau anak buyut).
DINDA LEO LISTY