Tersangka mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (2011-2015) Sugiharto, menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, 28 Desember 2016. Sugiarto diperiksa untuk melengkapi berkas penyidikan sekaligus pengembangan kasus dugaan korupsi pengadaan paket penerapan e-KTP secara nasional tahun 2011-2012, yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar kasus korupsi pengadaan KTP Elektronik (E-KTP) tak hanya dibongkar, tapi juga dituntaskan. Mereka meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berani mengusut tokoh-tokoh penting yang diduga menerima aliran uang korupsi proyek E-KTP.
ICW mengamati ada beberapa kasus yang sekedar dibongkar tapi tak tuntas penanganannya. “Ada pula beberapa nama yang seharusnya diproses ternyata tak ditindaklanjuti," kata peneliti ICW Emerson Yuntho dalam sebuah diskusi publik di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 11 Maret 2017.
Untuk pengusutan korupsi E-KTP, Emerson menyarankan KPK menyorot keterlibatan pembocor informasi (whistleblower). KPK diminta menjaga konsistensi Justice Collaborator, atau saksi dari kalangan pelaku kejahatan korupsi, yang bisa membantu pengungkapan perkara. "Jangan sampai kesaksian dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) berbeda dalam proses persidangan, karena ada kasus yang pada akhir aktor utamanya lolos dari proses hukum."
Emerson menyarankan agar KPK tidak pasif hanya menunggu perkembangan sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). KPK saat ini baru mengantarkan dua bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri sebagai tersangka ke persidangan, yakni Irman dan Sugiharto.
"KPK jangan mengandalkan putusan pengadilan, tapi perkuat proses investigasi.” Artinya kalau ada bukti kuat tak perlu menunggu penetapan tersangka baru.
Penetapan tersangka baru bisa dimulai dengan menginvestigasi pihak yang kabarnya telah memulangkan uang hasil pengadaan proyek KTP. "Bisa berangkat dari orang yang menerima dan mengembalikan uang ke DPR RI."