Aher: Semangat Kebhinnekaan Harus Terus Digelorakan
Jumat, 10 Maret 2017 11:20 WIB
INFO JABAR - Kebhinnekaan adalah unsur penting bagi bangsa Indonesia untuk menangkal segala pengaruh buruk globalisasi atau faktor eksternal dari luar. Terlebih saat ini, banyak pemahaman dan pengaruh teknologi luar yang merenggangkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal itu disampaikan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan saat menghadiri kuliah umum bertema “Tantangan Kebhinekaan Dalam Era Demokrasi dan Globalisasi” dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnavian di Aula Barat Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Rabu, 8 Maret 2017.
Menurut gubernur yang akrab disapa Aher ini, pada kondisi saat ini, seringkali ada pemahaman eksternal melalui teknologi, membuat renggang kebhinnekaan di Indonesia. “Makanya perlu dipompakan lagi, digelorakan lagi tentang kebinnekaan, supaya apa pun yang terjadi, kita tetap berkomitmen menghormati kebhinnekaan,” kata Aher.
Sementara Tito Karnavian dalam ceramahnya mengajak seluruh masyarakat Indonesia agar memelihara kebhinnekaan atau keberagaman yang dimiliki bangsa ini. Perbedaan ras, suku, dan agama adalah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Apabila bangsa ini tidak mengelola dengan baik keberagamannya, maka akan terjadi konflik. “Kebhinnekaan, kesatuan yang sudah ada di antara kita ini, harus dirawat dan dikelola. Jangan sampai kita menganggapnya sebagai sesuatu yang begitu saja terjadi,” kata Tito.
Kapolri menjelaskan di tengah situasi kebhinnekaan bangsa, saat ini Indonesia menghadapi berbagai macam tantangan, baik internal maupun eksternal. Salah satunya adalah kesenjangan ekonomi. Kepentingan ekonomi atau basic need adalah hal yang lebih penting dibanding kultur dan keamanan.
Untuk mencegah kesenjangan tersebut, lanjut Tito, negara berfungsi sebagai wadah untuk menghadirkan kesejahteraan rakyat. Tito mengutip teori "Kontrak Sosial" yang menyatakan bahwa negara dibentuk untuk menyejahterakan rakyatnya.
Pemerintah dan rakyat, kata Tito, memiliki kontrak sosial, yang apabila pemerintah tidak mampu memelihara kesejahteraan rakyat, maka akan diputuslah kontraknya. “Selama 71 tahun Indonesia merdeka, masih banyak kesenjangan terjadi. Low class masih sangat besar, meskipun sudah membaik dari waktu ke waktu. Nah, ini bisa menjadi salah satu faktor yang bisa menimbulkan ketegangan antara low class dengan kelas lain, yaitu, kelas menengah, dan kelas atas atau high class,” tutur Tito.
Sementara faktor eksternal yang perlu diantisipasi, yakni semakin kuatnya demokrasi dan liberalisasi. Menurut Tito, di satu sisi, kedua hal tersebut baik untuk kontrol pemerintah dan memberikan peran besar rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Namun, di sisi lain, nuansa demokrasi ini bisa disalahgunakan oleh kelas atas untuk berbagai kepentingan, sehingga perlu penyeimbang atau kritik dari pihak lain, yaitu kelas menengah atau middle class seperti kaum intelektual. “Tapi karena sistem demografi kita ini masih didominasi oleh kelas bawah, demokratisasi itu bisa dimanipulasi oleh para kelas atas, sehingga perlu faktor penyeimbang oleh para kelas menengah termasuk kalangan kampus, intelektual,” kata Tito. (*)