Mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sugiharto (kiri) dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman saat jalani sidang pembacaan dakwaan atas kasus dugaan korupsi pengadaan paket penerapan e-KTP di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 9 Maret 2017. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta -Jaksa penuntut umum KPK membeberkan rincian proses tender proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik atau E-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 9 Maret 2017.
Mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto pernah dilaporkan oleh Handika Honggowongso, kuasa hukum PT Lintas Bumi Lestari, di Kepolisian Polda Metro Jaya. Laporan itu terkait dengan penetapan konsorsium yang dipimpin Perusahaan Nagara RI sebagai pemenang lelang proyek E-KTP.
Informasi ini diungkapkan oleh jaksa penuntut umum pada KPK dalam surat dakwaan Sugiharto. Sebagai pejabat pembuat komitmen, Sugiharto diduga memperkaya diri sendiri dan orang lain menggunakan proyek e-KTP sehingga merugikan negara Rp 2,3 triliun.
"Bahwa atas penetapan konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang, pada tanggal 13 September 2011 Terdakwa II dan Drajat Wisnu Setyawan dilaporkan dengan sangkaan melakukan tindak pidana penipuan, penggelapan, pelanggaran praktek monopoli dan persaingan usaha serta pelanggaran keterbukaan informasi publik," kata jaksa Taufiq Ibnugroho.
Atas laporan itu, Sugiharto berkoordinasi dengan Ketua Komisi II DPR Chaeruman Harahap. Selanjutnya, Chaeruman menemui pengacara Hotma Sitompul untuk meminta bantuan hukum atas laporan tersebut.
Mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman lalu memerintahkan Sugiharto untuk meminta sejumlah uang kepada rekanan atau vendor yang ikut mengerjakan proyek pengadaan dan penerapan KTP elektronik. Sugiharto lantas meminta uang kepada Anang Sudiharjo sebesar US$ 200 ribu dan kepada Paulus Tanos sebesar US$ 200 ribu. Uang itu lalu digunakan untuk membayar Hotma.
Duit yang digunakan untuk membayar Hotma tak hanya berasal dari vendor. Jaksa menyebut Sugiharto juga menggunakan uang yang berasal dari anggaran Kementerian Dalam Negeri sebesar Rp 142 juta untuk membayar jasa pengacara.