Puluhan wartawan dan mahasiswa memajang poster saat aksi damai memperingati hari Kebebasan Pers Internasional 2015 di jalan Udayana Mataram, NTB, 3 Mei 2015. ANTARA FOTO
TEMPO.CO, Jakarta - Di sela acara Puncak Hari Pers Nasional ke-72 di Ambon, Maluku, Kamis, 9 Februari 2017, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengumumkan media atau perusahaan pers yang sudah terverifikasi. Upaya Dewan Pers melakukan verifikasi terhadap perusahaan pers, mendapat tanggapan beragam.
Yosep mengatakan hal tersebut dilakukan untuk menghindari pemberitaan yang tidak benar dari media yang bukan arus utama atau mainstream. "Tugas utama jurnalis adalah menyampaikan kebenaran. Namun, baru-baru ini, kami bisa melihat media sekarang dicemari berita hoax," katanya.
Namun, Koordinator Forum Pers Mahasiswa Jakarta Riyan Setiawan pun merasa gundah dengan verifikasi yang dikeluarkan Dewan Pers. Kendati pers mahasiswa berada di bawah naungan institusi pendidikan tapi dalam prakteknya, pers kampus bisa memberikan berita alternatif.
Menurut Riyan, verifikasi media bakal berdampak kepada media alternatif dalam hal mendapatkan sumber berita. "Tidak dikasih barcode akan kehilangan kredibilitas," katanya menegaskan.
Gabungan pekerja media yang terdiri atas sejumlah organisasi mendesak agar proses verifikasi media tak mensyaratkan harus perseroan terbatas (PT). Anggota Serikat Kerja Industri Media dan Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ichsan Rahardjo mengatakan badan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Pers tak mesti PT.
Ichsan berpandangan dalam perkembangan dunia jurnalisme saat ini media bergerak dinamis. Selain didominasi oleh perusahaan media arus utama, media berbasis jurnalisme ada yang bersifat alternatif. "Bisa ada monopoli informasi. Sebab ada peluang munculnya media alternatif," kata dia.
Sejumlah kalangan menilai kebijakan Dewan Pers yang memverifikasi media terlalu tergesa-gesa. Kepala Divisi Riset dan Pengembangan Lembaga Bantuan Hukum Pers Asep Komarudin mengatakan kebijakan itu harus dilakukan hati-hati karena menyangkut kepentingan banyak pihak. “Mandat dari Undang-Undang Pers (ke Dewan Pers) adalah mendata, bukan memberi lisensi,” katanya di kantor LBH Pers, Jakarta, Kamis, 9 Februari.
LBH Pers, kata Asep, khawatir adanya lisensi, seperti pemberian barcode, akan membuat sumber berita ragu menerima media yang tidak terverifikasi. Padahal bisa jadi media tersebut patuh terhadap asas jurnalisme dan kode etiknya. “Nanti media yang tidak jelas (barcode-nya) tidak ditanggapi,” katanya.
Hal tersebut yang membuat pers mahasiswa, seperti diungkapkan Riyan, merasakan kredibilitasnya bisa terancam.
Ekonom Sebut Penerapan Perpres Publisher Rights Harus dengan Prinsip Keadilan
23 Februari 2024
Ekonom Sebut Penerapan Perpres Publisher Rights Harus dengan Prinsip Keadilan
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan Perpres Publisher Rights mesti diterapkan dengan prinsip keadilan.