Seorang bocah menunjukkan pesan anti korupsi pada peringatan hari Anti Korupsi Sedunia, di Jakarta, 9 Desember 2016. Aksi tersebut sebagai kritikan terhadap para koruptor dan meminta agar pemerintah menjalankan komitmen untuk memberantas para koruptor. ANTARA/Muhammad Adimaja
TEMPO.CO, Jakarta - Chair of Executive Board Transparency International Indonesia (TII) Natalia Soebagjo menyatakan sektor swasta harus menjadi bagian dari upaya pemberantasan korupsi. Ia menilai menghapus korupsi birokrasi bukan satu-satunya strategi percepatan pemberantasan korupsi nasional.
Berkaca kepada kasus Garuda Indonesia, Natalia menyebut, perusahaan harus memperbaiki diri. "Karena kalau tidak akan berdampak pada sektor publik," kata dia saat peluncuran Indeks Persepsi Korupsi 2016 di Jakarta, Rabu, 25 Januari 2017. Ia menuturkan reformasi layanan publik saja tidak cukup, tapi juga pemberantasan korupsi politik dan bisnis.
Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menyambut baik usulan pengaturan korupsi di sektor swasta. Ia beralasan celah korupsi datang tidak hanya dari birokrasi tapi juga swasta. "Perlu juga undang-undang yang bisa kriminalisasi praktek korupsi di swasta," kata dia di tempat yang sama.
Sebelumnya, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia mengalami peningkatan. Transparency International Indonesia melansir peringkat CPI Indonesia kini berada di peringkat 37. Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko mengatakan kenaikan skor CPI Indonesia sebesar satu poin.
Ia menilai peningkatan lima poin di lima tahun terakhir terbilang lambat. Dadang menyebut lambatnya kenaikan karena pemberantasan korupsi hanya fokus ke sektor birokrasi saja. "Strategi pemberantasan korupsi belum berikan porsi terhadap korupsi politik, hukum, dan bisnis," ucap Dadang.
Lebih lanjut, Teten menyatakan pemerintah tentu tidak puas dengan kenaikan satu poin CPI Indonesia. Ia ingin ke depan skor Indonesia bisa lebih baik lagi. Sebab, ia menilai, CPI yang baik akan menjadi salah satu indikator bagi pelaku usaha untuk berinvestasi di Indonesia. "Sehingga orang tidak ragu berbisnis. Mereka yakin asetnya tidak hilang. Itu yang penting," kata Teten.