TEMPO.CO, Jakarta - Fraksi Partai Gerindra menilai ketiadaan ambang batas partai politik mencalonkan calon presiden dan calon wakil presiden atau threshold 0 persen, akan memunculkan banyak figur alternatif dalam Pemilu Presiden 2019.
"Ketiadaan 'presidential treshold' dalam pemilihan presiden memungkinkan tampilnya banyak figur pasangan calon presiden dan calon wakil presidensehingga menguntungkan masyarakat", kata anggota Panitia Khusus RUU Penyelenggaraan Pemilu dari Partai Gerindra Nizar Zahro di Jakarta, Rabu, 25 Januari 2017.
Baca juga:
Tak Setuju Presidential Threshold 0 %, JK: Agar Berkualitas
Presidential Threshold 0 Yassona Capres Terlalu Banyak
Presidential Treshold Dihapus, Pilihan Calon Makin Banyak
Dia menjelaskan dari landasan teoritis, demokrasi meliputi dua hal yaitu kontestasi dan partisipasi, dalam aspek kontestasi merujuk pada calon yang akan dipilih sedangkan aspek partisipasi merujuk pada masyarakat yang akan memilih. Menurut Nizar, dalam aspek kontestasi, akan lebih meriah dan persaingannya semakin ketat apabila muncul banyak pasangan capres - cawapres.
"Akan terlihat juga, adu gagasan yang ditawarkan oleh para kandidat untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Gagasan yang ditawarkannya akan lebih beragam sehingga dapat mendorong pertumbuhan demokrasi politik ke arah yang lebih baik," ujarnya.
Selain itu menurut Nizar, apabila tidak ada PT dalam pilpres akan muncul banyak figur capres-cawapres, maka masyarakat memiliki banyak alternatif pilihan. Hal itu ujar dia, banyaknya figur capres-cawapres sangat sinkron dengan struktur masyarakat Indonesia yang sangat beragam.
"Artinya banyak figur yang tampil bisa menjadi cerminan dari beragamnya masyarakat Indonesia," kata Nizar.
Nizar juga menjelaskan berdasarkan landasan konstitusional, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Dia menilai landasan konstutusional UUD itu tidak mengharuskan adanya besaran persentase untuk "presidential threshold".
"Terlebih lagi adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan digelarnya pemilu legislatif dan pilpres secara serentak menjadikan aturan presidential threshold lemah secara konstitusional bila dipaksakan besarannya seperti sebelumnya yakni 20 persen kursi legislatif atau 25 persen suara pileg," katanya.
Nizar mengatakan Pilpres 2014, presidential treshold didasarkan pada hasil pileg yang digelar sebelum pilpres. Menurutnya, ketika pileg dan pilpres dilakukan secara serentak, maka PT yang akan dijadikan acuan, apakah akan di dasarkan pada pileg tahun 2014 untuk pilpres 2019.
"Padahal hasil pileg 2014, sudah dijadikan dasar dari PT pada pemilihan presiden yang sudah digelar pada 2014 lalu," katanya.
Selain itu dia juga menilai penentuan PT berdasarkan hasil pemilu sebelumnya (2014) juga kurang tepat karena dalam lima tahun terakhir dari 2014 hingga 2019, bisa saja telah terjadi pergeseran pilihan masyarakat dari satu parpol ke parpol lainnya.
ANTARA
Simak:
Disebut 'Babu', Buruh Migran Anggap Fahri Hamzah Gagal Paham
Rizieq Peringatkan Kebangkitan PKI, Kapolda: Bagaimana Bisa?