Penjualan Rumah di Jateng Dipengaruhi Upah Rendah
Editor
LN Idayanie Yogya
Jumat, 23 Desember 2016 23:01 WIB
TEMPO.CO, Semarang - Penjualan rumah di Jawa Tengah, lesu sejak 2015 lalu, akibat rendahnya upah minimum pekerja. Real Estate Indonesia (REI) Jawa Tengah, meyebut upah pekerja di Jateng jauh lebih rendah dibanding provinsi lain di Jawa, sehingga tak mampu untuk mengangsur rumah. “UMK di Jateng rata-rata Rp 1,4 juta hingga Rp 1,5 juta. Artinya sepertiga gajinya tak bisa untuk mengangsur rumah,” kata Ketua Real Estate Indonesia (REI) Jawa Tengah, Triyanto, Jum’at (23/12).
Padahal, kata dia, minimal nilai angsuran dari masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) Rp 700 ribu, dengan harga rumah sederhana mencapai Rp 115 juta. “Ini yang menjadikan para pekerja sulit mendapatkan rumah,” kata Triyanto.
Dia meyebutkan, bukti rendahnya kepemilikan rumah di Jawa Tengah, sejak 2015, yang sangat lesu kurang dari 6 ribu unit yang terjual. Sedangkan pada 2016 hanya naik sedikit sebanyak 8 ribu unit yang terbeli, dari 10 ribu unit rumah yang ditargetkan laku. Angka penjualan rumah yang tercatat di REI Jateng, menunjukkan rendah dibanding lahan yang tesedia, masih bisa dibangun 14 ribu unit rumah. Dia mencontohkan, di Surakarta sebanyak tiga ribu unit belum laku.
Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Semarang, Heru Budi Utoyo, membenarkan kondisi itu. Dia menyebutkan, UMK di Jawa Tengah termasuk Semarang, sudah tak masuk akal jika dihadapkan pada kebutuhan perumahan. “Upah yang diterima saat ini belum layak. Apalagi buat membeli rumah,” kata Heru.
Dia mencontohkan, UMK 2017 di Jateng tertinggi Semarang mencapai Rp 2.125.000 masih sulit untuk ambil rumah, karena syarat bank menentukan rata-rata upah pengaju kredit Rp 2,5 juta. “Ini susah. Belum angsuran terendah Rp 1 juta. Ini artinya, separuh dari gaji buruh dan memberatkan,” kata Heru.
Menurut Heru, upah rendah yang ditetapkan Pemerintah Jateng, disebabkan akibat pemahaman keliru yang mengasumsikan kebutuhan buruh hanya kamar. Kebijakan upah rendah, diimbangi pembangunan rumah susun sewa. Berbeda dengan Jatim dan Jabar yang mengasumsikan sewa rumah, bukan sewa kamar. Hal itu menjadi salah satu penyebab posisi buruh di Jawa Tengah tak sejahtera.
Dia menegaskan, konsep rumah susun sewa bukan menjawab persoalan buruh yang ingin punya hunian permanen. “Rumah susun hanya sewa tak pernah dimiliki buruh,” katanya. EDI FAISOL