Gempa Pidie Jaya, Ini Fokus Perhatian Kementerian Kesehatan
Editor
Nunuy nurhayatiTNR
Sabtu, 10 Desember 2016 10:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto mengatakan timnya saat ini fokus pada layanan kesehatan primer bagi para pengungsi gempa di Pidie Jaya, Aceh. “Perhatian kami saat ini berpindah dari emergency, ke masalah kesehatan akibat lingkungan,” katanya saat dihubungi, Jumat, 9 Desember 2016.
Kementerian Kesehatan, kata Achmad, memantau para pengungsi korban gempa di Pidie, Aceh. Beberapa penyakit akibat lingkungan mulai menjangkiti para pengungsi seperti diare, dan infeksi saluran pernapasan, serta masalah saluran cerna. “Beberapa mengeluh sakit perut, dan mual karena masalah kurang air di tempat pengungsian ini,” katanya.
Masalah lingkungan, kata Achmad, terjadi karena perpindahan tempat tinggal warga dari rumah biasa ke posko penampungan. “Masjid kan tidak dibangun untuk tempat tinggal menampung ratusan bahkan ribuan orang,” katanya. Tak heran, masalah sanitasi atau kekurangan air terjadi dan menimbulkan masalah kesehatan.
Masalah asupan gizi juga berpotensi terjadi pada pengungsi itu. Achmad dan timnya terus memantau agar gizi yang dikonsumsi para korban bencana tercukupi. “Jangan sampai korban hanya makan Indomie yang isinya hanya kalori saja,” katanya.
Menurut Achmad, penanganan operasi gawat darurat seperti operasi bedah tulang yang keluar dari kulit sudah diselesaikan pada 20 jam pertama setelah terjadi gempa utama. “Kalau tidak segera ditangani, mereka mengalami pendarahan dan bisa kehilangan nyawa,” katanya.
Selain bedah tulang untuk gawat darurat, ada pula beberapa pasien yang perlu melakukan operasi bedah tulang dengan kondisi ringan. Operasi ringan dengan penjadwalan ini masih terus berlangsung di beberapa rumah sakit. “Hingga hari ini sudah ada 97 orang yang diberikan operasi darurat, dan 125 orang operasi bedah ringan,” katanya.
Achmad menambahkan, obat-obatan pun masih bisa terpenuhi untuk para korban gempa Aceh. Ia mengatakan stok sepuluh ton obat-obatan dan makanan tambahan untuk bayi yang tersimpan di ibu kota provinsi, Banda Aceh, masih bisa menangani masalah ini. “Saat ini masih ada kira-kira lima ton lebih obat-obatan yang tersedia. Kami terus waspada,” katanya.
Ada beberapa obat untuk bedah yang sempat kurang. Namun hal ini ditangani dengan mengirimkan beberapa obat dari Jakarta. “Akses udara membantu kami tangani pengiriman antibiotik dan pen dari Jakarta,” katanya.
MITRA TARIGAN