Indonesia Menang atas Gugatan Arbitrase Churchill Mining
Editor
Budi Riza
Kamis, 8 Desember 2016 11:51 WIB
TEMPO.CO, Samarinda - Indonesia akhirnya memenangi gugatan hukum atas perusahaan tambang batu bara asal Inggris, Churchill Mining, dalam sidang arbitrase di Badan Penyelesaian Sengketa Investasi Internasional (ICSID) di Washington DC, Amerika Serikat.
Sidang putusan yang berlangsung pada Selasa, 6 Desember 2016, waktu setempat itu menolak segala bentuk tuntutan Churchill terhadap pemerintah Indonesia.
Mantan Bupati Kutai Timur, Isran Noor, yang juga satu dari delapan tergugat, mengatakan ini kabar gembira bagi Indonesia. Dia mengaku mendapat informasi mengenai kemenangan tersebut dari anggota tim pengacara Indonesia yang bersidang, yaitu Didi Dharmawan.
"Ini sebuah sejarah bangsa dan membanggakan bagi saya. Kami memenangi sengketa arbitrase di sidang internasional. Ini bukti kami berdaulat atas pengelolaan sumber daya alam Indonesia," kata Isran Noor, Rabu, 7 Desember 2016.
Churchill mendaftarkan sengketa ini ke badan arbitrase sejak 22 Mei 2012. Setelah permohonan dikabulkan dan terdaftar, langkah berikutnya adalah badan arbitrase memilih tiga orang sebagai majelis arbitrase untuk menyelesaikan sengketa.
Kasus Churchill Mining telah memasuki ranah hukum sejak 2010. Saat itu, Churchill memasukkan gugatannya ke Pengadilan Tata Usaha Samarinda atas surat pembatalan izin usaha pertambangan, yang dikeluarkan Bupati Isran Noor. PTUN Samarinda memutuskan pembatalan izin tersebut sudah sesuai prosedur.
Tidak terima dengan putusan itu, Churchill pun mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pada Agustus 2011. Putusan pengadilan tinggi ini pun masih serupa dengan putusan sebelumnya, begitu pula dengan proses kasasi di Mahkamah Agung.
Obyek sengketa adalah area konsesi seluas 35 ribu hektare di Kecamatan Busang, Muara Wahau, Telen, dan Muara Ancalong, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Lahan itu sebelumnya dikuasai oleh Grup Nusantara, yang berakhir pada 2006-2007. Setelah itu, lahan dikuasai PT Ridlatama yang kemudian diakuisisi Churchill.
Isran Noor menilai Churchill telah melanggar aturan di Indonesia menyangkut penguasaan perusahaan tambang batu bara oleh asing dalam bentuk kuasa pertambangan. Churchill menguasai 75 persen saham dari empat kuasa pertambangan.
Belum lagi, kata Isran Noor, perusahaan asing itu sukses menjual saham di bursa internasional dari perusahaan yang menguasai konsesi penambangan dengan kandungan batu bara mencapai 3 miliar metrik ton. "Itu salah satu dokumen yang dipalsukan," ujarnya.
Isran mengungkapkan, buku putusan sidang arbitrase setebal 200 lembar itu membuat Indonesia memenangi gugatan senilai US$ 2 miliar atau setara Rp 200 triliun. Atas kekalahan gugatan ini, Churchill diwajibkan membayar kepada pemerintah Indonesia US$ 8.646.528.
"Yang membuat saya bangga, saya bisa mempertahankan martabat bangsa," tutur Isran Noor.
FIRMAN HIDAYAT