Tersangka Dimas Kanjeng Taat Pribadi digiring petugas saat rekontruksi di padepokannya Desa Wangkal, Gading, Probolinggo, Jawa Timur, 3 Oktober 2016. Rekonstruksi yang menghadirkan Kanjeng Dimas dan sejumlah tersangka lain tersebut dilakukan untuk pengembangan pengusutan kasus pembunuhan Abdul Gani. ANTARA FOTO
TEMPO.CO, Surabaya - Wajahnya hampir tanpa ekspresi saat menjawab perihal muasal mendiang suaminya, Kasianto, bergabung dengan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Gunarsih, istri Kasianto, memberanikan diri melapor ke Polres Pelabuhan Tanjung Perak, Senin, 3 Oktober 2016 didampingi dua adik ipar dan adik kandungnya.
"Saya sebenarnya enggak usahlah melapor ke polisi, tapi adik saya (Winu Sunarsono) yang ngotot,” kata Gunarsih kepada Tempo. Warga Jalan Tambak Asri XV itu mengatakan, suaminya bergabung dengan padepokan sejak 2012. Kasianto sehari-hari bekerja sebagai kepala depo peti kemas di Pelabuhan Tanjung Perak.
Adalah Wito, salah satu kawannya, yang mengajaknya menjadi murid Padepokan Dimas Kanjeng. “Saya enggak tahu nama lengkapnya. Suami saya sangat tertutup,” ujar Gunarsih. Sejak bergabung di padepokan itu, mendiang Kasianto selalu berusaha mendapatkan uang yang disebut sebagai mahar.
Untuk menyetorkan mahar, menurut Gunarsih, Kasianto yang saat itu berusaha 49 tahun menguras isi tabungannya. Sedikitnya ia bertandang ke Padepokan yang berlokasi di perbatasan Desa Wangkal dan Desa Gadingwetan, Kecamatan Gading sekali dalam seminggu sembari membawa mahar.
Bersama 15 orang lainnya, mereka bertemu di dekat Terminal Mojokerto untuk berangkat bersama-sama ke Probolinggo. "Pergi Sabtu dan pulang Minggu, tapi kalau ada istighasah, suami saya bisa tinggal di sana selama tiga hari," ujar Gunarsih. Jumlah mahar yang terakhir disetor Kasianto berkisar Rp 25 juta.